PENILAIAN RANAH AFEKTIF
A.
Hakikat Pembelajaran Afektif
Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi
belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Andersen (1981) sependapat
dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari
berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah
kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal
perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku
seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut
merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.
Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan
keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran
tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang
yang berminat dalam suatu mata pelajaran
diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua
pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai
kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan
untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat
nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang
program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan
psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang
memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang
mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga
dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik
sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara
sistematik untuk meningkatkan minat
peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang
optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi
peserta didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta
didik.
B. Tingkatan Ranah Afektif
Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua
tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya,
di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan
ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving
(attending), responding, valuing, organization, dan characterization.
1. Tingkat receiving
Pada tingkat
receiving atau attending,
peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau
stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik
mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek
pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang
membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi
kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
2. Tingkat responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai
bagian dari perilakunya. Pada tingkat
ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi.
Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons,
berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini
adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan
pada aktivitas khusus. Misalnya senang
membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan
kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3. Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang
menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari
menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan,
sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada
internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini
berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara
jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap
dan apresiasi.
4. Tingkat organization
Pada tingkat
organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar
nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
Hasil pembelajaran pada tingkat
ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya
pengembangan filsafat hidup.
5. Tingkat characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai.
Pada tingkat ini peserta didik
memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini
berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.
C. Karakteristik Ranah Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk
diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku
melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku
seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah,
dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa
perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau
suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding
yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari
perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang
pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau
bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang
kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari
perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada
beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah,
matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan
target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun
kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila
menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya
adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu
sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak
secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui
cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan
serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses
pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap
sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan
sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu
predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif
terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap
objek misalnya sikap terhadap sekolah atau
terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan
(Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris,
harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris
dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu
indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana
pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang
terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek
khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau
pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a. mengetahui
minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b. mengetahui
bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c. pertimbangan
penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d. menggambarkan keadaan
langsung di lapangan/kelas,
e. mengelompokkan
peserta didik yang memiliki minat sama,
f. acuan
dalam menilai kemampuan peserta didik
secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g. mengetahui
tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h. bahan
pertimbangan menentukan program sekolah,
i. meningkatkan
motivasi belajar peserta didik.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan
individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan
intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target
konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif,
dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari
rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir
peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat
dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu
informasi konsep diri penting bagi
sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian
diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut.
·
Pendidik mampu
mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
·
Peserta didik mampu
merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
·
Pernyataan yang
dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
·
Memberikan motivasi
diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
·
Peserta didik lebih
aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
·
Dapat digunakan untuk
acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
·
Peserta didik dapat
mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
·
Peserta didik dapat
mengetahui ketuntasan belajarnya.
·
Melatih kejujuran dan
kemandirian peserta didik.
·
Peserta didik
mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
·
Peserta didik
memahami kemampuan dirinya.
·
Pendidik memperoleh
masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
· Mempermudah pendidik
untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi pembelajaran yang
dilakukan.
·
Peserta didik belajar
terbuka dengan orang lain.
· Peserta didik mampu
menilai dirinya.
· Peserta didik dapat
mencari materi sendiri.
· Peserta didik dapat
berkomunikasi dengan temannya.
4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan
tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap
buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi
sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu
pada keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat
juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan
dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah
tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler
(1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan
oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan
bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek
ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta
didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta
didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif
terhadap masyarakat.
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan
moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement
moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui
penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan
pada bagaimana sesungguhnya seseorang
bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap
kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri.
Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik
fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama
seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi
moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
Ranah afektif lain yang penting adalah:
- Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain
- Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
- Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
- Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.
Sumber : Depdiknas, 2008, Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Komentar