Gerakan DI/TII dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat Maros 1953-1965


Oleh :Muhammad Rasyid Ridha

ABSTRAK
Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar, berawal dari terjadinya perbedaan pandangan antara pemerintah dengan para gerilyawan (KGSS) mengenai rasionalisasi dan reorganisasi ketentaraan pasca KMB. Perbedaan itu ternyata tidak dapat diselesaikan. Akhirnya pihak KGSS kemudian mengorganisasikan diri kedalam CTN, kemudian TKR dan akhrinya menjadi DI/TII pada 7 Agustus 1953. Selama berlangsungnya gerakan ini, Maros termasuk salah satu daerah operasinya. Kehadiran DI/TII di daerah ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian masyarakat mendukung atau bergabung dengan DI/TII, dan yang lainnya tidak merespon kehadirannya dan lebih menggalkan kampung halamanya. Dengan demikian, ditempatkannya Maros sebagai daerah operasi telah menimbulkan perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Kata Kunci : Gerakan DI/TII dan Kehidupan Masyarakat

PENDAHULUAN  
 Pasca kemerdekaan, bangsa Indonesia dihadapkan dengan berbagai permasalahan, seperti masalah pertahanan keamanan, ekonomi, sosial, dan hubungan luar negeri. Khusus di bidang pertahanan kemanan, muncul sejumlah gerakan perlawanan terhadap pemerintah, seperti gerakan Darul Islam (DI) yang dipelopori oleh S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat, kemudian meluas dan mempengaruhi daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Penyebab dan motivasi pada masing-masing daerah itu berbeda (Dijk, 1983). 

Khusus di Sulawesi Selatan, lahirnya DI/TII berawal ketika pemerintah akan melakukan reorganisasi dan rasionalisasi ketentaraan pasca Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebagai putera daerah, Abdul Qahhar Mudzakkar meminta kepada pemerintah untuk kembali ke Sulawesi Selatan guna menyelesaikan persoalan organisasi dan anggota-anggota bekas pejuang yang tergabung dalam Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS). 

Setelah tiba di Sulawesi Selatan, ia kemudian melakukan kompromi politik dengan pemerintah, dalam hal ini Acting Gubernur Lapian dan Panglima TT VII Kolonel Kawilarang. Namun, keduanya tidak mencapai kata sepakat karena perbedaan pandangan tentang reorganisasi ketentaraan. Pihak KGSS menuntut agar dibentuk sebuah resimen (Hasanuddin) yang personilnya diambil dari seluruh anggota KGSS tanpa melalui seleksi sebagaimana lazimnya. Sementara dari pihak pemerintah mempersyaratkan bagi setiap anggota untuk diseleksi berdasarkan pada standar kesehatan, pendidikan, kemampuan membaca/menulis dan lain-lain. Hal itu tampak sebagai kemunafikan belaka, karena mereka tahu betul bahwa sebagian gerilyawan yang tidak memenuhi standar tersebut (Harvey, 1989: 172-173). Akhirnya, para gerilyawan dibawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar masuk ke hutan, dan pada tanggal 7 Agustus 1953 memproklamasikan penggabungan pasukan-pasukan dan daerah-daerah yang dikuasainya menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat (Gonggong, 1992: 1).

Selama berlangsungnya peristyiwa ini, hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan merasakan dampaknya. Atas dasar itu, tulisan ini mencoba mengulas tentang pelbagai hal yang terjadi ketika DI/TII menempatkan Maros sebagai salah satu daerah opeasinya, baik dalam hal perekrutan massa maupun dampak yang ditimbulkannya. .

DARI KGSS, CTN, TKR MENJADI DI/TII. 
 
Munculnya KGSS pada dasarnya merupakan salah satu upaya yang dilakukan Abdul Qahhar Mudzakkar (yang ketika itu menjabat sebagai Komando Group Seberang) mengutus Saleh Sahban ke Makassar untuk pertama kalinya pada bulan April 1949. tujuannya adalah utnuk berkonsolidasi dengan para pemimpin gerilya dan kaum republiken di Sulawesi Selatan, menyampaikan perkembangan situasi terakhir mengenai penyelesaian masalah pejuang gerilya dan membangkitkan semangat perjuangan mereka untuk terus melawan Belanda dan pengikut-pengikutnya (Dg. Matta, 1967: 491). Kedatangan Saleh Syahban ketika itu berhasil bertemu dengan para pemimpin gerilya, dan kemudian hasilnya dilaporkan kembali kepada Abdul Qahhar Mudzakkar. 

Pada bulan Agustus 1949, untuk kedua kalinya saleh Syahban diutus ke Sulawesi Selatan untuk menundak lanjuti hasil pertemuan pertama. Penugasannya kali ini lebih pada upaya tindak lanjut (follow up) dari pertemuan sebelumnya dengan para pemimpin gerilya dan kaum republiken pada abulan April 1949. tujuan yang dimaksud ialah untuk mengkoordinir pasukan-pasukan yang masih aktif dengan membentuk staf koordinator, dan ia sebagai penanggungjawab, yang kemudian mengeluarkan sebuah penetapan tentang status kelasykaran menjadi batalyon, yang terdiri atas 10 batalyon, yaitu X01 Harimau (Makassar), X02 Bontain (Bantaeng), X03 Bone, X04 Pacekke (Pare-Pare), X05 Batu Putih, X06 Mandar (Majene), X07 (Sulawesi Tenggara), Masserengpulu (Masserengpulu), Anshar (Sulawesi Selatan), dan Kombat Troop di Sulawesi Selatan (Kadir, 1985: 492). 

Pada bulan Dsember 1949, diadakan konferensi di maros 6yang dihadiri oleh semua komandan batalyon, yang menghasilkan dua keputusan penting, yaitu: (1) pembentukan KGSS dengan komandannya adalah Saleh Syahban dan Mustafa sebagai kepala staf dan (2) mengusulkan kepada pemerintah pusat di Jakarta agar supaya KGSS dijelmakan menjadi satuu divisi (yang diberi nama) Hasanuddin dan menetapkan overste Abdul Qahhar Mudzakkar sebagai komandan divisi (Gonggong, 1992: 94-95). 

Upaya pemerintah untuk mengkoordinir pasukan-pasukan gerilya yang tergabung dalam KGSS pada bulan pertama sesudah pengakuan kemerdekaan ternyata tidak berhasil. Hal itu disebabkan aksi protes dari pihak KGSS atas kebijakan pemerintah mengenai penggabungan satuan-satuan KNIL secara besar-besaran ke dalam APRIS, sementara permintaan mereka sendiri untuk diintegrasikan secara keseluruhan ditolak pemerintah. Ditambah lagi kebijakan terhadap pejuang gerilya yang baru kembali ke Sulawesi Selatan, kecuali stua batalyon pimpinan Andi Mattalata dan pasukan Worang dikirim ke markas besar AD di Jakarta sehubungan dengan reorganisasi ketentaraan dan pembubaran brigade XVI pada awal tahun 1950 (Dijk, 1983: 154-155).

Melihat perkembangan situasi yang demikian, maka Abdul Qahhar Mudzakkar atas nama KGSS melakukan kompromi politik dengan pemerintah dalam hal ini Pangdam VII Wirabuana, Kolonel A.E. Kawilarang. Ketika kompromi politik sedang berlangsung, tampak terjadi perbedaan pendapat mengenai proses integrasi anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN) persiapan pembentukan Divisi Hasanuddin. Di pihak KGSS tetap bertegak pada pendirian bahwa mereka diakui dulu sebagai tentara bau diadakan rasionalisasi, sementara dilain pihak pemerintah tetap perpegang pada sejumlah persyaratan menjadi anggota APRIS seperti lazimnya.
       
           Meskipun berbagai upaya kompromi telah dilakukan, namun kedua pihak tetap bersikeras pada pendiriannya, sehingga diakhiri dengan sikap tegas Abdul Qahhar Mudzakkar meletakkan jabatannya serta keluar dari dinas ketentaraan disertai tindakan penanggalan tanda pangkatnya di hadapan Kolonel A. E. Kawilarang dan stafnya serta turut disaksikan oleh Presiden NIT, Husain Puang Limboro dan Perdana Menteri Putuhena pada pertemuan tanggal 1 Juli 1950.
          
          Menyikapi sikap tegas Abdul Qahhar Mudzakkar tersebut, maka pada hari yang sama pula Panglima Komando Tentara Territorium Indonesia Timur mengeluarkan sebuah pernyataan politik yang dikenal dengan Dekrit Kawilarang. Isi dekrit ini menegaskan bahwa semua personil KGSS dan lain-lain organisasi gerilya di luar APRIS dibubarkan dan segala usaha untuk melanjutkan atau menghidupkan kembali organisasi gerilya dilarang.
Sejak saat itu para gerilyawan melarikan diri ke hutan bergerilya bersama Abdul Qahhar Mudzakkar. Selama berada di hutan, mereka memperkuat posisi dengan cara melakukan reorganisasi (penataan kembali) kesatuan-kesatuan ketentaraannya. Pada tanggal 10 Oktober 1950, KGSS dijelmakan menjadi Brigade Hasanuddin yang dilengkapi dnegan lima kesatuan batalyon tempur. Dalam struktur baru ini, Abdul Qahhar Mudzakkar diangkat sebagai komandan dan Saleh Syahban sebagai kepala staf. Kesatuan-kesatuan bayalyon dimaksud; Batalyon I Baumaepe dipimpin Andi Selle Mattola, Batalyon II Batu Putih dipimpin Andi Tenriajeng, Batalyon III Arief Rate dipimpin Azis Taba, Batalyon IV Monginsidi dipimpin Andi Sose, dan Batalyon V 40.000 dipimpin Syamsul Bachri (Kadir, 1985: 494).
Kendati demikian upaya dengan berbagai pendekatan terhadap anggota KGSS agar kembali masyarakat tetap dilakukan antara lain pembetukan Corps Cadangan Nasional (CTN) persiapan TNI/Brigade Hasanuddin pada tanggal 24 Maret 1951. Ketika CTN akan dilantik menjadi salah satu kesatuan TNI pada tanggal 17 Agustus 1951 ternyata Kahar Mudzakkar bersama pasukannya tidak muncul, bahkan bebarapa hari sebelum pelantikan tepatnya tanggal 14 Agustus 1951 secara diam-diam meninggalkan rayon-rayon konsentrasi tempat mereka akan diangkut untuk dilantik (masuk ke hutan kedua kalinya). Di beberapa rayon, truk-truk dari TT-VII/Wirabuana diserang dan perlengkapan serta senjata dirampas. Mereka berhasil membawa uang satu juta rupiah dan lima ribu pakain seragam persiapan pelantikan (Dijk, 1983: 171).
Pada tanggal 10 Agustus 1953 Panglima TII TT VII Komando Pasukan Hasanuddin mengelurakan penetapan No. 2/D/SP/TII/Co.PH/53 yang berisi tiga hal pokok yaitu (1) pemberlakukan keadaan perang di seluruh daerah TT.VII.TII; (2) mulai diberlakukannya Hukum Syariat Islam dalam Negara Republik Islam Indonesia (NRII); dan (3) mewajibkan warga negara terutama yang beragama Islam untuk turut serta dalam pertahanan negara untuk melaksanakan rencana pertahanan rakyat total (ANRI Sulawesi 1950-1960: 324).
Pada akhir tahun 1955, diadakan Pertemuan Urgensi Pejuang Islam Revolusioner I (PUPIR I) di Makalua yang kedua kalinya (pertemuan pertama melahirkan paroklamasi DI, 7 Agusutus 1953) memghasilkan sebuah keputusan yang disebut “Piagam Makalua”. Dalam pertemuan itu diputuskan antara lain pertama, menjalankan instruksi perang semesta yang dikeluarkan Imam Kartosuwiryo, Presiden NII yakni pemisahan tegas antara daerah TNI dan DI/TII. Batas garis 5 km dari kota-kota dan jalan raya, dan kedua mengadakan reformasi dalam tubuh Divisi Hasanuddin (Mattalioe, 1994: 222-223).

MAROS DALAM STRUKTUR DI/TII
Gerakan DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar memiliki perangkat-perangkat yang lengkap dalam melakukan mobilisasi gerakan. Kaitannya dengan upaya reformasi Divisi Hasanuddin, Abdul Qahhar Mudzakkar membentuk dan melantik Divisi/KW I Hasanuddin untuk ilayah Sulawesi Utara, Tengah, dan Tenggara dibawah pimpinan Syamsul Bachri Fatta, dan Divisi/KW II 40.000 untuk Sulawesi Selatan dipimpin oleh M. Bahar Mattalioe (Mattalioe, 1994: 246).
Khusus daerah Sulawesi Selatan yang dikordinir oleh Panglima Divisi 40.000, M. Bahar Mattalioe membawahi empat resimen tentara dan 16 batalyon/Komando. Dalam struktur ini, Maros termasuk wilayang pertanggungjawaban Resimen I pimpinan Abdul Kahar Muang (Mattalioe, 1994: 245; Harvey, 1987:359-360).
Pembagian kesatuan tersebut secara hirarkis masing-masing dilengkapi dengan empat komando batalyon, dan di setiap batalyon terdiri atas empat kompi, dan setiap kompi dilengkapi dengan empat palaton, dan seterusnya. Meskipun secara hirarkis tampak adanya struktur kesatuan yang lengkap, namun mengenai jumlah dari setiap kesatuan tersebut tidak seperti lazimnya sebuah kesatuan militer, dalam hal ini jumlah personilnya. Hal ini terkait dengan terbatasnya jumlah personil yang terlibat dalam struktur DI/TII. Berdasarkan pembagian daerah operasi, Maros termasuk dalam wilayah operasi Resimen I yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muang.

BERBAGAI TINDAKAN DI/TII
Berbagai aksinya DI/TII tampaknya sangat meperhatikan kondisi medan yang dihadapinya. Hal ini terkait dengan strategi penyusupan dan mobilisasi pasukan agar kerugian (korban) dalam setiap aksi dapat diminimalisir. Oleh karena itu, selama perang gerilya berlangsung, desa dalam pandangan DI/TII akan mengalami tiga keadaan, yaitu : (1) suatu desa yang diduduki musuh; (2) suatu desa yang didatangi pasukan patroli musuh; dan (3) suatu desa yang tidak diduduki dan tidak didatangi pasukan patroli musuh (ANRI Sulawesi, 1950-1960:323). Gerilyawan (DI/TII) menggunakan taktik pertempuran gerilya. Taktik gerilya yang dimaksud adalah memukul musuh diwaktu mereka lengah dan menghindarkan serangan musuh ketika mereka berada dalam posisi yang kuat. Konsep strategi tersebut diterapkan sampai berakhirnya gerakan DI/TII pada tahun 1965.
Kehadiran DI/TII di Maros menimbulkan keresahan dan ketidakamanan bagi masyarakat. Gerombolan (DI/TII) yang sering melakukan aksi pengacauan di daerah Maros dipimpin oleh Hakim Madjid dan Nurdin Pisok. Namun, dari kedua tokoh ini yang paling sering melakukan pengacauan ialah Nurdin Pisok (Mattalioe, 1994: 194).
Aksi-aksi yang dipimpin oleh Nurdin Pisok ini sulit dideteksi gerak gerik apsukannya, sebab ia tidak menetap di suatu tempat, melainkan selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain sehingga menyulitkan pemerintah (TNI) dalam menumpas gerakannya.
Selama berlangsungnya gerakan DI/TII, masyarakat Maros mengalami berbagai kondisi yang sangat memprihatinkan akibat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pasukan DI/TII. Penculikan (orang), perampokkan (barang), pembunuhan, dan bahkan pembunuhan seakan menjadi “suatu yang lumrah atau biasa” dan merupakan konsekuensi dalam melakukan perubahan. Hal itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, sehingga menimbulkan reaksi penduduk setempat, baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung.

REAKSI MASYARAKAT TERHADAP DI/TII
Selama berlangsungnya gerakan DI/TII, kehidupan masyarakat Maros terutama di daerah operasi, sangat merasakan dampak kehadiran DI/TII. Betapa tidak, gerombolan DI/TII sering melakukan perampokkan, penculikan, dan pembakaran rumah-rumah masyarakat Maros. Dengan demikian, keberadaan mereka telah menimbulkan kegelisahan dan ketakutan serta berbagai predikat lainnya yang bernuansa “seram” yang dialamatkan kepada DI/TII merupakan bukti nyata dari berbagai tindakan yang dilakukan terhadap masyarakat Maros.
Berbagai tindakan yang dilakukan pasukan DI/TII terhadap masyarakat Maros telah mencabik-cabik harminisasi kehidupan masyarakay sehari-hari. Tangisan seorang ibu yang kehilangan anaknya sangat memilukan hatinya. Rasa tidak tenang dan aman menyebabkan sebagia masyarakat yang berada di daerah opeasi DI/TII terutama mereka yang tidak mau bergabun (bekerja sama) terpaksa harus meningalkan kampung halamannya, mengungsi ke daerah-daerah yang dianggap aman antara lain di mana (tempat) terdapat TNI.
Pasukan DI/TII dengan leluasa melakukan aksi-aksinya di daerah pedalaman Maros. Di samping telah dikuasainya, kepala pemerintahan yang bertanggung jawab atas daerah-daerah tersebut seperti kepala kampung dan kepala distrik tindak berada di tempat atau dengan kata lain telah meninggalkan daerahnya, sebab mereka tidak mau bekerja sama dengan DI/TII.
Reaksi masyarakat Maros muncul terutama ketika gerombolan melakukan pembakaran dan pembunuhan. Akbat dari tindakan mereka, maka di tiap-tiap daerah pedalaman disediakan pos-pos pengamanan. Kaitannya dengan hal itu, rakyat diikutsertakan untuk membantu alat-alat negara dalam rangka melakukan pengamanan dan penumpasan gerakan DI/TII.
Bagai mereka yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah dalam hal ini, mereka dilibatkan dalai sebuah barisan penjaga keamanan yang biasa disebut dengan Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR), yang sebelumnya bernama Organisasi Pagar Desa (OPD) dibentuk pada tanggal 23 Januari 1955 sampai dengan tahun 1958. Kehadiran OPR disambut baik oleh masyarakat Maros terutama di daerah pedalaman yang sebelumnya selalu mendapat gangguan dan ancaman gari DI/TII. Bentuk sambutan baik itu diwujudkan melalui keterlibatan sebagian warga dalam struktur OPR.

DAMPAK GERAKAN DI/TII TERAHAP KEHIDUPAN MASYARAKAT
Berasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tampaknya pada tahun 1951-1961 pasukan DI/TII cukup intensif dalai melakukan aksi-aksinya terutama di daerah Maros (yang oleh penduduk setempat diidentifikasi dengan “geromboan”) telah menimbulkan keresahan, kesengsaraan, ketidak-amanan dan ketidak-kenyamanan bagi masyarakat.
Aksi-aksi penculikan terutama dialamatkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh di suatu kampung dengan harapan (mereka itu tadi) menjadi kaki tangan DI/TII dalam mobilissi gerakan massa. Mereka yang menjadi sasaran yang akan dijadikan kaki tangan DI/TII terutama guru-guru sekolah dan guru mengaji, sebab status dan kedudukan sosial mereka, di samping kharismanya yang diharapkan dapat menarik simpati rakyat untuk kemudian mendukung gerakan DI/TII. Selain dua unsur (tokoh masyarakat) tersebut, yang tidak lepas dari incaran untuk dipengaruhi adalah para kepala kampung dan kepala-kepala distrik di setiap daerah yang menjadi sasaran aksi pasukan DI/TII.
Kendatipun demikian, tidak jarang dari para tokoh masyarakat tersebut yang tidak setuju atau tidak mau bekerja sama dengan DI/TII. Terhadap mereka, minimal ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu melarikan diri/mengungsi ke tempat-tempat yang tidak/sulit dijangkau oleh pasukan DI/TII terutama (daerah) yang mana terdapat aparan kemanan dan bila tidak sempat menyingkir (ditangkap gerombolan), maka yang terjadi kemudian adalah pembunuhan yang bersangkutan. Karena itu, banyak warga yang harus menyingkir, meningalkan kampung halamannya demi untuk menyelamatkan diri dan kelangsungan hidupnya.
Selain melakukan penculikan dan pembunuhan, pasukan DI/TII juga melakukakn perampokkan barang-barang (tanpa kecuali barang-barang yang mereka dapati ketika beraksi) kepunyaan penduduk hampir dalam setiap kali aksi memasuki kampung-kampung. Hal ini sudah barang tentu terkait dengan upaya menghimpun dana dalam rangka mobilisasi dan kelangsungan gerakan DI/TII di daerah Maros. Akibat dari tindaka mereka itu, maka ketika mereka memasuki suatu kampung, para warga pun berlarian menjauhkan diri dan bersembunyi karena ketakutan, kecuali bagi mereka (warga) yang setuju atau mau bekerja sama dengan DI/TII.

PENUMPASAN GERAKAN DI/TII
Penumpasan gerakan separatis di Indonesia pada tahun 1950-an menurut Daliar Noer (1987:356-159) umumnya dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan persuasif kompromi politik dan pendekatan bersenjata atau operasi. Kendatipun kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan yang sama, namun dalam menentukan pendekatan apa yang akan digunakan tergantung pada perkembangan situasi.
Pendekatan pertama kurang efektif, sekalipun hal itu berdampak terhadap perobahan struktur kekuatan DI/TII , namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu berdampak pada perubahan struktur kekuatan pasukan DI/TII. Tetapi, upaya tersebut tidak berhasil membawa pemimpin pemberontakan, Abdul Qahhar Mudzakkar kembali ke masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah RI kemudian menempuh jalur yang kedua yakni pedekatan operasi militer.
Selama berlangsungnya gerakan ini, pasukan DI/TII menerapkan taktik gerilya yang bersifat totaliter, karena itu untuk menghadapinya pemerintah pun harus menggunakan taktik anti gerilya yang bertujuan untuk memisah rakyat dari musuh, dengan tetap menyadari soal-soal politik, ideologi, dan sosial-ekonomi (Nasution, 1980: 50). Oleh karena itu, dibentuk pertahanan total, di mana rakyat dilibatkan untuk bersama-sama dengan TNI melakuka upaya penumpasan DI/TII.
Operasi penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode TT.VII Wirabuana (1951-1957) dan periode Kodam XIV Hasanuddin (1957-1965) (Gonggong, 1992: 160). Antara tahun 1952-1953 TNI melancarkan operasi Halilintar, dimana yang dihadapi bukan hanya gerombolan pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar, tetapi juga TKR pimpinan Hamid Gali dan usman Ballo, dan Tentara Republik Indonesia (TRI) yang dipimpin Andi Makkulau dan Andi Ismail.
Setelah operasi Halilintar, Komando TT VII Wirabuana menyususun satun organisasi operasi militer yang diberinama Gevechts Groep dibawah pimpinan Letkol Chandra Hasan pada tahun 1954 sampai terbentuknya organisasi operasi yang lain pada tahun 1956. Antara tahun 1955-1956 telah berturut-turut dibentuk kesatuan komando operasi yaitu Komando Operasi Wirabuana yang langsung dibawah, Komando Operasi Musafir, dan Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan Tenggara (Ko.DPSST).
Upaya pemulihan keamanan (1959-1962) melalui operasi militer ditempuh dengan membentuk Komando Operasi “45” (1959-1960) yang dipimpin Mayor Andi Sose, Komando Operasi Guntur (1960-1961), dan Komando Operasi Kiklat (1961-1962). Di samping operasi militer, pemerintah juga melakukan pendekatan persuasif. Pendekatan persuasif dalam periode ini sempat menunjukkan titik terang ke arah penyelesaian. Hal itu dibuktikan dengan kesediaan Abdul Qahhar Mudzakkar, pemimpin DI/TII untuk melakukan perundingan dengan Pangdam XIV/Hasanuddin, Letkol AndiMuhammad Yusuf di Bonepute pada tahun 1961 (Gonggong, 1992: 160-167). Namun ternyata perundingan tersebut tidak berhasil menyelesaikan persoalan. Keran itu, pemerintah semakin gencar melakukan operasi militer.
Sejumlah operasi TNI terhadap DI/TII di Sulawesi Tenggara membuat Kahar Mudzakkar semakin terdesak, terutama setelah kembalinya komandan Resimen II DI/TII, Muhammad Jufri Tambora bersama anak buahnya pada tahun 1962 sebagai realisasi dari hasil perindingan di Bone Puteh. Meski demikian hal itu tidak menyurutkan perjuangan Kahar Mudzakkar, dan bahkan disela-sela kemunduran peregerakannya, ia sempat memproklamirkan berdirinya Republik Persatuan Islam Indoensia (RPII) pada tanggal 14 Mei 1962 yang oleh Gonggong (1992) disebut sebagai “angan-angan dalam kesendirian”. Operasi Tumpas yang dilancarkan oleh Kodam XIV Hasanuddin berhasil mendesak pasukan DI/TII hingga akhirnya pimpinannya, Kahar Mudzakkar tertembak mati di dekat Sungai Lasolo Kolaka pada tahun 1965 (Harvey, 1987: 328; Gonggong, 1992: 174).

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa munculnya DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar berawal dari masalah KGSS pada tahun 1949, yang berbuntut terjadinya perbedaan pandangan antara pemerintah dengan para gerilyawan. Setelah menemui jalan buntu, Abdul Qahhar Mudzakkar, pemimpin gerilyawan mengorganissikan diri menjadi TKR, dan tahun 1953 memproklamasikan penggabungan pasukannya menjadi bagian dari NII pimpinan Kartosoewirjo. Gerakan ini berlangsung sekitar 12 tahun (1953-19650).
Selama berlangsungnya peristiwa, pasukan DI/TII melakukan berbagai tindakan terutama ditujukan kepada masyarakat yang daerahnyamenjadi sasaran operasi. Tidakan-tindakan tersebut berupa penculikan (orang), pembakaran rumah-rumah penduduk, perampokkan barang-barang kepunyaan penduduk, dan bahkan pembunuhan sekalipun. Tindakan-tindakan yang dilakukan DI/TII mengakibatkan kehadiran mereka di suatu daerah kurang mendapat respon penduduk setempat. Karena itu, mereka (masyarakat) lebih memilih bersembunyi atau menyingkir meningalkan kampung halaman, dan semua harta peninggalan mereka (termasuk lahan/sawah), kecuali mereka yang mau bekerja sama dengan DI/TII. Dengan demikian, gerakan DI/TII telah menimbulkan perubahan sosial dan ekonomi masyarakat Maros.

DAFTAR PUSTAKA
Arsip Nasional Republik Indonesia: Inventaris Arsip pemerintah Propinsi Sulawesi 1950-1960 dan Koleksi Pribadi Muhammad Saleh Lahade 1937-1973
Dijk, Cornelis van, 1983, Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta : Grafiti
Dg. Matta, 1967, Luwu dalam Revolusi. Bhakti Baru
Gonggong, Anhar, 1992, Abdul Qahhar Mudzakkar : dari Patriot hingga Pemberontak, Jakarta : Grasindo
Harvey, Barbara Sillars, 1989, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII. (Terj.), Jakarta : Garafiti
Kadir, Harun at al, 1984, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan (1945-1950). Ujung Pandang: Lembaga Penelitian UNHAS bekerjasama Bappedal Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan
Mattalioe, M. Bahar, 1994, Pemberontakan Meniti Jalur Kanan. Jakarta : Grasindo
Nasution, A.H, 1959, Keterangan Pemerintah Kepada Sidang Pleno DPR tanggal 16 Desember 1959 Mengenai Keamanan. Departemen Penerangan RI.
Noer, Deliar, 1999, Partai Islam di Pentas Nasioanal : Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung : Mizan
Poelinggomang, Edward L dan Suriadi Mappangara (ed), 2000, Dunia Militer di Indonesia: Keberadaan dan Peran Militer di Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah mada University Press

*Muhammad Rasyid Ridha, Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar.

Komentar

BELAJAR BAHASA mengatakan…
menarik sekali