Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1959

Oleh : Muh. Rasyid Ridha*
ABSTRAK
Sejarah pemikiran politik Indonesia antara tahun 1945-1959 penuh dengan perdebatan filosofis, terutama tentang dengan dasar negara yang berimplikasi terhadap bentuk negara Indonesia. Perdebatan itu pada dasarnya membentuk dua aliran pemikiran, yakni negara yang berdasarkan agama (Islam) atau Pancasila. Kedua pihak yang mendukung pemikiran tersebut masing-masing didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan filosofis. Pihak yang menginginkan negara berdasarkan Islam menganggap bahwa sejak awal perjuangan sampai pada masa kemerdekaan, orang Islam memiliki peran yang sangat penting dan juga termasuk golongan mayoritas di republik ini. Sedangkan, kelompok Nasionalis yang menghendaki negara berdasarkan Pancasila lebih mengedepankan pada aspek toleransi antara sesama. Antara golongan mayoritas dan golongan minoritas tidak boleh ada perbedaan, sebab negara adalah bukan milik atau hasil perjuangan sebagian golongan saja, melainkan hasil perjuangan bersama seluruh golongan.
Kata Kunci : Pemikiran Politik
PENDAHULUAN
Pada awal pendudukannya di Indonesia, Jepang melakukan propaganda politik yang dikenal dengan semboyan GERAKAN 3 A; Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia, dan Nippon Pelindung Asia. Salah satu gagasan yang dipropagandakan adalah bahwa kehadiran Jepang di Indonesia sebagai “kakak tertua” yang ingin melindungi “adiknya” dari tindakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan terutama yang dilakukan oleh bangsa Eropa (Barat).
Semboyan ini tampaknya cukup ampuh di tengah kehidupan rakyat Indonesia yang porak-poranda akibat praktek kolonialisme Belanda. Terbukti, ketika Jepang mengadakan kompromi politik dengan beberapa tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno dan upaya perekrutan sumber daya (mobilisasi massa) dalam rangka kebijakan “mobilisasi dan kontrol”. Hal ini membuat rakyat Indonesia terbuai, sebab selama ini (pada masa pemerintahan Hindia Belanda) mereka diabaikan.
Kendatipun demiakian, sepak terjang Jepang tidak lama kemudian mulai menunjukkan kesugguhannya (seperti kerja romusha), sehingga rakyat Indonesia yang sebelumnya diiming-iming dengan kebebasan dari penindasan ternyata hanyalah isapan jempol. Berbagai tindakan yang dilakukannya, membuat rakyat Indonesia cukup menderita. Bahkan sebagian kalangan menilai bahwa kehidupan pada masa pendudukan Jepang (3 ½ tahun) lebih sengsara daripada pemerintahan Belanda (sekitar 3 ½ abad) sekalipun.
Menjelang kekalahannya dalam Perang Pasifik, Jepang kembali mengumban janji (untuk kedua kalinya) kepada rakyat Indonesia mengenai kemerdekaan “kelak di kemudian hari”. Janji itu dibuktikan dengan pembentukan Dokuritsu Dzjumbi Cosakai atau Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dengan ketua pertamanya Radjiman Wideodiningrat. Tugas pokok badan ini adalah mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan dan digantikan dengan Dokuritsu Dzyumbi Cosakai atau Paniti Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang juga membahas masalah kelengkapan negara Indonesia merdeka. Dalam rapat-rapat BPUPKI dan PPKI, tampak selalu diwarnai dengan perdebatan filosofis terutama mengenai dasar negara, di samping persoalan penting lainnya.
Tampaknya perdebatan itu tidak hanya terjadi pada awal kemerdekaan (tahun 1945). Pasca Pemilu I 1955, Dewan Konstituante (1955-1959) yang bertugas membicarakan masalah dasar UUD “baru” pengganti UUDS 1950 pun menemui jalan buntu. Hal inilah yang menjadi fokus tulisan ini, mencoba menjelaskan perkembangan pemikiran politik Indonesia antara tahun 1945-1959.

DASAR NEGARA
Konsepsi tentang dasar negara merupakan pembicaraan penting semenjak adanya usaha-usaha mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yakni dalam sidang-sidang BPUPKI mulai 29 Mei sampai 1 Juni 1945 (Risalah, 1995: 1-127). Pada pidato pembukaan siding BPUPKI, Radjiman Wideodingrat bertanya “Negara yang kita bentuk itu apa dasarnya”. Menurut laporan Hatta, para anggota tidak segera menafsirkan dalam negara ini sebagai ideologi.
Kebanyakan di antara anggota BPUPKI tidak melibatkan diri dalam masalah ini karena takut akan menjurus pada konflik filosofis yang berkepanjangan. Pada buku Yamin Risalah Persiapan Kemerdekaan Indonesia Jilid I dijelaskan bahwa Hatta dan pembicara-pembicara lainya mengajukan tiga konsep yang berkaitan dengan dalam Negara; (1) apakah Indonesia menjadi negara kesatuan atau federal atau Negara perserikatan; (2) masalah hubungan antara negara dan agama; dan (3) apakah Negara akan menjadi republik atau kerajaan (dalam Nasution, 2001: 58).
Pidato Supomo dalam sidang itu menagaskan tentang “konsep kebatinan Indonesia” yang menubjuk pada kesatuan hidup, kesatuan antara abdi dengan penguasa, kesatuan antara dunia luar dan dalam, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dengan pemimpinnya. Ia berkesimpulan bahwa ide totaliter ini terwujud dalam negara asli , di mana para pejabat negara adalah pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyat, dan para pejabat Negara senantiasa wajib memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya (Risalah, 1995: 35). Dalam suasana persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya itu, kata Supomo, maka negara yang hendak mendirikan pun harus sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, dan konsep negara yang sesuai dengan keistiwaan itu adalah Negara Integralistik (Nasution, 2001: 58-59).
Tafsir negara secara ideologis baru menjadi bahan pembicaraan yang alot pada hari ketiga tanggal 31 Mei 1945. Pada hari ini, timbul pertentangan yang cukup serius antara mereka yang menganjurkan Negara Islam dan mereka yang mempertahankan negara yang bebas dari campur tangan agama (Risalah, 1995: 31-32). Menurut Soepomo, Negara Islam tidak sesuai atau bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan. Lebih lanjut ia menjelaksan bahwa mendirikasn Negara Islam di Indoensia berarti mendirikan Negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar (Islam), maka tentu akan timbul masalah golongan agama kecil (Kristen dan lainnya). Meksipun Negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan lain itu, akan tetapi golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara.
Demikian pula dengan mereka yang mengehendaki dasar Negara Indonesia adalah Islam mempunyai dasar pertimbangan filosofis, antara lain pertimbangan jumlah mayoritas penduduk Indoensia adalah beragama Islam, yang memiliki andil yang cukup besar bagi Indonesia dalam proses menyejarah yang cukup lama. Meskipun kalaim-kalim seperti itu merupakan realitas sesungguhnya, namun dari sekian peserta sidang tampaknya belum menjawab atau memberikan konsep tentang dasar Negara seperti yang ditanyakan oleh Radjiman Wideodiningrat pada pidato pembukaan Sidang BPUPKI pertama.
Pada hari terakhir sidang pertama, Soekarno yang termasuk salah seorang anggota BPUPKI menyampaikan pidatonya yang kemudian mempunyai makna yang sangat penting bagi sejarah Indonesia. Menurutnya, meskipun telah ada pembicara-pembicara sebelumnya tentang masalah dsar negara, namun belum menyentuh persoalan mendasar yakni Philosofische gronslag. Inilah fundamen, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Kemudian ia melanjutkan dengan memperkenalkan lima asas sebagai dasar negara IndonesiaIndonesia, Internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, keadilan sosial, dan Ketuhanan (Nasution, 2001: 60-61; Anshari, 1986: 16-17). merdeka, yaitu nasionalisme
Bagian tentang Ketuhanan, lebih lanjut Soekarno menjelaskan bahwa bukan saja bangsa Indonesia yang ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan sesuai dengan keyakinannya. Orang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih, orang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menurut kitab-kitab yang ada padanya. Karena itu, Negara Indonesia hendaknya adalah sebuah negara yang tiap-tiap anggotanya dapat menyembah Tuhan-nya dengan leluasa. “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama” (Nasution, 2001: 61).
Pidato Soekarno tersebut yang kemudian dikenal dengan “Lahirnya Pancasila”, disambut meriah oleh hadirin dengan tepuk tangan merieh. Ini umumnya ditafsirkan sebagai penerimaan penuh terhadap pandangan Soekarno. Tetapi, tepuk tangan itu juga dapat dianggap sebagai ucapan perasaan lega karena Sokarno merumuskan penyelesaian yang tampaknya diterima untuk mengakhiri kontroversi ideologis antara penganjur Negara Islam dengan penganjur Negara Sekuler yang terjadi pada hari sebelumnya yang mengancam kesatuan nasional.
Meski demikian, ternyata para pemimpin Islam masih tetap pada pendiriannya bahwa Islam harus menjadi dalam Negara Indonesia merdeka. Untuk menyelesaikan masalah itu, dibentuk sebuh panitia yang beranggotakan sembilan orang atau biasa juga disebut Panitia Sembilan untuk menyusun pembukaan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (baca Anshari, 1986). Dalam pembukaan ini, Ketuhanan diberi tempat pertama dengan diberi tambahan “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun kemudian ternyata rumusan ini menjadi topik perdebatan yang kontroversial dan berkepanjangan (baik dalam sidang BPUPKI, PPKI maupun Dewan Konstituante) (Noer, 2000: 36-46). Perdebatan mengenai dasar negara sempat terhenti sebentar, mengingat proklamasi yang harus segara dilaksanakan di tengah terjadinya facum of power. Namun tidak berarti perdebatan telah berakhir dan semua pihak telah menerima konsep dalam Negara yang telah ditetapkan.
Pada malam hari tanggal 17 Agustus 1945 sesudah proklamsai kemerdekaan, Latuharhary bersama teman-temannya dari kelompok nasionalis menghadap Bung Hatta untuk menyampaikan tuntutan mereka atas nama minoritas Kristen Indonesia Timur. Mereka menuntut untuk menghapus “tujuh kata” dalam konstitusi. Oleh sebab itu, keesokan harinya (18 Agustus), Bung Hatta dan Bung Karno sepakat meminta bantuan Teuku Moehammad Hasan (putera seorang ulebalang Aceh terkemuka) untuk menemui dan “membujuk” Ki Bagus Hadikusuma (ketua Muhammadiyah) agar menerima tuntutan kaum Nasionalis Indonesia Timur. Pertemuan itu akhirnya membuahkan hasil, Ki Bagus Hadikusuma pun dapat menyetujuai kalimat “Ketuhan yang Maha Esa” sebagai penganti kalimat dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya (Pamungkas, 2001: 288).
Pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dalam sambutannya mengatakan bahwa UUD tersebut adalah “UUD kilat”, nanti setelah Negara dalam keadaan/suasana yang lebih tenteram, akan dibuat kembali UUD yang lebih lengkap dan sempurna. Soekarno menegaskan dengan kata-kata “harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan, agar supaya kita hari ini bisa selesai dengan Undang-Undang Dasar ini” (Pamungkas, 2001: 289). Akhirnya, perubahan dalam pembukaan UUD disetujui dan disahkan oleh sidang PPKI, termasuk pencoretan “tujuh kata-kata sakral” tersebut di atas.

NEGARA INTEGRALISTIK
Pandangan Negara Integralistik disampaikan oleh Soepomo pada pidatonya dalam sidang BPUPKI, 31 Mei 1945. menurutnya, sistem pemerintahan atau struktur negara tergantung pada paham mengenai Negara (staatside). Dalam uraiannya, Soepomo menjelaskan tiga perpektif mengenai negara dan masyarakat yang dikemukakan oleh ahli-ahli filsafat Barat klasik. (1) perspektif individualistik yang diajukan oleh Hobbes, Locke, dan Rosseau. Dalam perspektif ini, negara merupakan masyarakat hukum yang berdasarkan kontrak; (2) perspektif kelas yang diajukan oleh Marx dan Lenin yang memandang negara sebagai alat golongan yang menguasai sistem ekonomi untuk menindas golongan lain; dan (3) perspektif integralistik yang dianjurkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel yang menganggap bahwa fungsi negara bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat secara keseluruhan (Risalah, 1995: 32-33).
Setelah menguraian pandangan-pandangan ahli filsafat Barat, Soepomo kemudian menguaraikan konsep yang telah lama dianut oleh bangsa Indonesia yang diesebutnya “semangat kebatinan”. Semangat ini bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti atau persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam suatu masyarakat dan golongan-golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya dianggap mempunyai tempat dan kewajiban hidup (darma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada keseimbangan lahir dan batiin. Manusia sebagai seorang tidak terpisah dari seorang lain atau dunia luas, segala golongan makhluk bercampur baur dan bersangkut paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia. Menurutnya, negara bersatu dengan seluruh rakyatnya dan mengatasi golongan-golongan dalam lapangan apa pun (Risalah, 1995: 35-36).
Menurut aliran pemikiran ini, kepala negara dan badan-badan pemerintahan lain harus bersifat pemimpin yang sejati, petunjuk jalan kearah cita-cita luruh, yang diidam-idamkan oleh rakyat. Negara harus bersifat “badan penyelenggara”, badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya (Risalah, 1995: 36). Artinya, negara ialah seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan tersusun. Atau dengan kata lain, negara tidak bersikap atau bertindak sebagai seseorang yang maha kuasa, yang terlepas dari seseorang manusia dalam daerahnya dan yang mempunyai kepentingan sendiri.
Lebih lanjut Soepomo menjelaskan Negara Totaliter tidak berarti bahwa negara tidak akan memperhatikan adanya golongan-golongan sebagai golongan, atau tidak mempedulikan manusia sebagai seseorang, melainkan pengakuan dan penghormatan terhadap adanya golongan-golongan masyarakat yang sadar akan kedudukannya sebagai bagian organik dari negara seluruhnya, yang berkewajiban meneguhkan persatuan dan harmoni antara organ-organ itu (Risalah, 1995: 37).
Negara persatuan tidak berarti bahwa negara atau pemerintah akan menarik segala kepentingan masyarakat ke dalam dirinya, akan tetapi menurut alasan-alasan tertentu akan membagi-bagi kewajiban negara kepada badan-badan pemerintahan di pusat dan di daerah masing-masing untuk dipelihara menurut masa, tempat, dan soalnya (Risalah, 1995: 37).

NEGARA ISLAM
Bentuk Negara Islam merupakan konsekuensi dari konsep tentang dasar negara Indonesia merdeka, yakni berdasarkan Islam seperti yang dikemukakan oleh para pemimpin Islam. Namun, keinginan untuk mewujudkan konsep tersebut mendapat berbagai tantangan, termasuk sikap pemerintah yang menghapuskan “tujuh kata sakral” dalam UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Meskipun penghapusan ini telah dirundingkan dengan tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusuma, namun ternyata hal itu tidak diterima seluruhnya oleh tokoh Islam lainnya. Bahkan sebagian pemimpin Islam menganggap hal itu sebagai salah satu bentuk penipuan pemerintah terhadap umat Islam. Hal tersebut diutarakan dalam sidang Dewan Konstituante oleh Isa Anshari, “kejadian yang menyolok mata sejarah itu, dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia … Politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam” (Nasution, 2001: 105). Faktor inilah yang menjelaskan sikap partai-partai Islam yang tidak bersedia berkompromi dalam perdebatan mengenai dasar Negara di Dewan Konstituante, yang pada akhirnya diakhiri dengan campur tangan pemerintah melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (baca Noer, 2000).
Pendirian teguh kalangan pemimpin Islam mengenai Negara Islam menurut Daliar Noer karena tiga alasan penting. Pertama, mereka melihat dasar ini sebagai masalah yang mereka janjikan selama kampany Pemilihan Umum tahun 1954 dan 1955. Tema mereka umumnya ialah bagaimana menjalankan ajaran agama dalam Negara dan masyarakat. Oleh karena janji harus ditepati, maka pendirian mereka di Konstituante didasarkan pada agama, bukan sekadar moral. Kedua, mereka melihat Konstituante sebagai forum tempat tiap kelompok atau fraksi perlu mengungkapkan disarm dan cita-cita mereka sendiri, dan membicarakannya dengan kawan-kawan dalam sidang. Walaupun orang lain tidak akan menerima cita-cita itu, namun minimal kewajiban menyampaikan sudah dipenuhi. Ketiga, forum Konstituante sebagai forum dakwah untuk menyampaikan kepada orang-orang di Konstituante serta di luarnya apa yang sebenarnya dimaksud oleh Islam dalam hubungan dengan masyarakat dan politik (Noer, 2001: 294-285).
Unsur-unsur paham Negara Islam yang diketangahkan dalam Konstituante oleh juru bicara partai-partai Islam sebagai bentuk bantahan mereka terhadap pandangan-pandangan yang tidak setuju dengan Negara Islam, dapat disimplifikasikan sebagai perikut.
1) Penolakan terhadap sekularisme. Perdebatan posisi ideologis Islam diwakili oleh Natsir yang menekankan pada makna sumber transedental bagi Negara Islam, yakni Wahyu Ilahi. Ia monolak sekularisme. Sebab sekularisme sebagai cara hidup mencakup pemikiran, tujuan, dan sikap yang terbatas pada kehidupan duniawi. Paham sekularisme hanya menganggap masyarakat, sejarah, dan biologi sebagai sumber kepercayaan dan nilai moral, dan tujuan tunggalnya ialah untuk mencapai kebahagian di dunia yang fana ini. Karena itu, negara perlu mengambil sikap tegas karena sekularisme tidak sanggup memberi bimbingan yang kuat dan tegas, sedangkan agama (Islam) dapat memberi pengarahan (bersumber pada Wahyu Ilahi) yang jelas dalam mengambil keputusan.
2) Negara mengatur semua aspek kehidupan sosial dan pribadi; negra merupakan lembaga yang mempunyai tujuan, lengkap dengan sarana fisik serta norma-norma khusus yang diakui umum. Negara mencakup keseluruhan masyarakat dan semua lembaganya; Negara mempersatukan lembaga-lembaga itu dengan sistem hukum. Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu, hubungan Negara dengan masyarakat seperti “bentuk” dengan “isi” yang tak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, negara seharusnya berakar masyarakat, dan disarm negara seharusnya bukan sekedar falsafah negara tetapi juga sebagai falsafah kehidupan.
3) Tidak adanya kebebasan berpendapat yang mutlak; Tuhan menciptakan alam dengan segala perbedaan yang terkandung di dalamnya, sesuai dengan hukum dan sistem yang harus diketahui manusia dengan menggunakan akal. Kebebasan menggunakan akal dalam memahami ciptaan Tuhan berdasarkan pada Al-Qur’an.
4) Demokrasi terbatas.; umumnya para pendukung Negara Islam perpegang pada konsep demokrasi terbatas. Di satu pihak mereka mengacu pada undur-unsur demokratis dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan di pihak lain mereka juga sangat menentang dengan gigih pemikiran ateistis kaum komunis. Mereka tidak dapat menyetujui bentuk demokrasi yang akan memberi kebebasan kepada kaum komunis untuk mencapai tujuannya.
5) Arti kebebasan beragama; bahwa Islam memberikan kebebasan lahir dan bathin kepada siapa pun, laikraha fiddien artinya “tidak ada paksaan dalam agama”. Manusia boleh memilih agama apa pun, tetapi jika ia mengaku sebagai orang Islam, ia harus melaksanakan semua yang tercakup dalam kitab suci Al-Qur’an.
6) Menolak politik toleransi terhadap penentangan negara Islam; tokoh yang paling radikal dalam hal ini adalah Isa Anshari (Masyumi). Menurutnya, mereka menjalankan toleransi dalam pengertian dogmatis, berusaha memahami pihak lawan tetapi tidak berusaha memahami umat sendiri. Penolakannnya terhadap Pancasila, menunjuk pada pandangan Soekarno yang menganggap gotong royong sebagai hakikat Pancasila. Menurut Anshari, pandangan tersebut menghancurkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dileburkan dalam kata gotong-royong. Baginya, (menurut hukum Islam) haram bagi orang Islam untuk mengatakan, mengikuti, dan menyebarluaskan pendangan-pandangan sperti itu.
7) Toleransi terhadap agama minoritas; perjuangan umat Islam hanya bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan keyakinan dan ideology Islam. Semua penderitaan dan pengorbanan tidak mempunyai tujuan selain mendukung kebenaran dan hak yang tersirat dalam hukum Allah. Dasar hukum Islam magenta agama lain (kaum minoritas di Indonesia) sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an bahwa “tidak ada paksaan untuk memasuki agama” (Nasution, 2001: 102-118).

PENUTUP
Perdebatan menganai dasar Negara Indonesia merupakan hal penting yang mewarnai proses sejarah pemikiran politik Indonesia sejak tahun 1945 sampai 1959. Pihak-pihak yang menawarkan konsep mengenai dasar negara Indonesia merdeka dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan filosofis. Tak jarang, pemikiran-pemikiran filosofis itu harus berbenturan ide antara satu dengan yang lainnya.
Perbenturan ide itu terjadi sbelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yakni pada sidang BPUPKI, kemudian dilanjutkan dalai sidang PPKI dan Dewan Konstitante. Bahan perdebatan yang cukup alot dan menyita banyak perhatian peserta sidang dan waktu, membuat pemerintah turut campur dua kali. Pertama pada tahun 1945 ketika kelompok minoritas tidak puas dengan pencantuman kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kedua, pada tahun 1959 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah Dewan Konstituante bersidang (1956-1959) dan ternyata tidak menghasilkan Undang-Undang Dasar sebagai pengganti UUD 1945 karena terjadi perdebatan yang berkepanjangan.

Terlepas dari persolaan perdebatan dan turut campur pemerintah selama proses pembentukan konsep politik Indonesia, namun sesungguhnya konsep-konsep yang ditawarkan itu pada dasarnya adalah untuk memberikan landasan konstitusional ideal yang akan diwujudkan dalam penyelengaraan negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin. 1983. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Disarm Negara Republik Indonesia 1945-1959. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, Adnan Buyung. 2001. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. (Diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon). Jakarta: Grafiti
Noer, Deliar. 2000. Partai Islam di Pentas Nasiuonal: Kisah dan Analisis Perkembangan Politk Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan.
Pamungkas, Sri-Bintang. 2001. Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total. Jakarta: Erlangga.
Risalah, 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PBUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretarian Negara Republik Indonesia.

*) Muh. Rasyid Ridha, Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar

Komentar