Rumitnya Mengurusi Ujian Akhir Nasional
MULAI hari Senin murid-murid Sekolah Menengah Atas menjalani ujian akhir nasional. Ujian yang menentukan kelulusan anak didik seperti biasa menimbulkan kehebohan. Mulai dari anak didik hingga orangtua menghadapi UAN dengan penuh ketegangan.
UAN selalu menjadi momok karena seakan-akan menjadi penentu masa depan anak didik. Keberhasilan untuk melewati UAN seakan-akan menjadi kunci untuk meraih masa depan, sebaliknya kegagalan dalam UAN seakan akhir sebuah malapetaka besar.
Tidak usah heran apabila kita melihat ada anak didik yang sampai memilih jalan bunuh diri ketika gagal dalam UAN. Seakan-akan gagal di UAN merupakan aib besar dan tidak boleh terjadi.
Inilah yang sebenarnya merupakan kegagalan dari pendidikan yang kita lakukan. Seakan-akan tujuan dari pendidikan adalah sekadar untuk lulus UAN. Seakan-akan tujuan dari pendidikan adalah untuk memperoleh ijazah.
Kita bukan hanya terperangkap dalam budaya instan, tetapi juga budaya prosedural. Seakan-akan jika sudah bisa melakukan UAN, maka kita akan menjadi bangsa yang hebat. Dengan nilai kelulusan yang lebih tinggi, kita otomatis sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Padahal pendidikan bukan ditentukan oleh nilai kelulusan. Pendidikan lebih ditentukan bagaimana membuka wawasan anak didik dan mengasah daya nalarnya, sehingga mereka bisa menjadi pribadi-pribadi yang mampu berpikir logis.
Pendidikan harus bisa mempersiapkan anak didik memiliki kompetensi sesuai dengan inklinasinya. Bukan hanya sekadar puas untuk mendapatkan ijazah, karena yang menentukan kemajuan sebuah bangsa bukan tingginya tumpukan ijazah, tetapi tumpukan karya.
Dengan cara pandang pemerintah yang lebih tertuju kepada nilai kelulusan, tidak usah heran apabila yang lalu dikejar adalah nilai. Anak didik bukan belajar untuk mempersiapkan diri, tetapi mencoba mencari bocoran dari jawaban UAN.
Tidak usah heran apabila menjelang UAN sekolah juga sibuk menjaga jangan sampai materi UAN sampai bocor. Tempat percetakan materi UAN dijaga seperti percetakan uang negara. Para pegawai percetakan digeledah seperti karyawan Peruri.
Kita memang harus mendorong agar anak-anak Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Agar kita bisa menjadi pemenang dalam era globalisasi, kita harus mampu membangun manusia-manusia yang berkualitas.
Pembangunan knowledge based society tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang artifisial. Itu harus ditempuh dengan cara-cara yang konseptual dan contoh-contoh baik yang bisa ditiru oleh anak-anak didik.
Bagaimana kita akan bisa mengajarkan anak-anak untuk jujur dan disiplin, ketika yang setiap hari mereka lihat adalah ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan dari para pejabat. Anggota-anggota DPR yang malas untuk mengikuti sidang dan bahkan tidur di ruang sidang menjadi contoh buruk bagi anak-anak kita.
Kita meminta anak-anak didik untuk rajin belajar dan tidak mencoba mencuri-curi soal ujian, sementara yang mereka lihat para pejabat yang berlomba-lomba mencuri uang negara. Anak-anak dipertontonkan oleh pejabat yang pamer gelar akademik, namun miskin dalam aplikasi ilmu pengetahuan.
Persoalan pendidikan yang kita hadapi bukan hanya persoalan rendah nilai rata-rata kelulusan. Persoalan yang kita hadapi jauh lebih berat dari itu. Persoalan esensi dari pendidikan yang kita lakukan, yang sama sekali tidak mengasah kecerdasan anak didik, tetapi lebih mencekoki anak-anak.
Oleh karena itu pemecahannya tidak cukup dengan menaikkan nilai kelulusan UAN, tetapi membenahi sistem pendidikan. Standardisasi proses belajar-mengajar, penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai, orientasi dari proses pendidikan harus didahulukan.
Tanpa itu maka kita akan terus menghadapi persoalan yang sama. Setiap kali UAN akan dilaksanakan, orang hanya sekadar khawatir karena tidak memahami apa sebenarnya manfaat dari UAN, kecuali sekadar untuk menyatakan lulus atau tidak lulus dari anak didik.(metrotvnews.com)
UAN selalu menjadi momok karena seakan-akan menjadi penentu masa depan anak didik. Keberhasilan untuk melewati UAN seakan-akan menjadi kunci untuk meraih masa depan, sebaliknya kegagalan dalam UAN seakan akhir sebuah malapetaka besar.
Tidak usah heran apabila kita melihat ada anak didik yang sampai memilih jalan bunuh diri ketika gagal dalam UAN. Seakan-akan gagal di UAN merupakan aib besar dan tidak boleh terjadi.
Inilah yang sebenarnya merupakan kegagalan dari pendidikan yang kita lakukan. Seakan-akan tujuan dari pendidikan adalah sekadar untuk lulus UAN. Seakan-akan tujuan dari pendidikan adalah untuk memperoleh ijazah.
Kita bukan hanya terperangkap dalam budaya instan, tetapi juga budaya prosedural. Seakan-akan jika sudah bisa melakukan UAN, maka kita akan menjadi bangsa yang hebat. Dengan nilai kelulusan yang lebih tinggi, kita otomatis sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Padahal pendidikan bukan ditentukan oleh nilai kelulusan. Pendidikan lebih ditentukan bagaimana membuka wawasan anak didik dan mengasah daya nalarnya, sehingga mereka bisa menjadi pribadi-pribadi yang mampu berpikir logis.
Pendidikan harus bisa mempersiapkan anak didik memiliki kompetensi sesuai dengan inklinasinya. Bukan hanya sekadar puas untuk mendapatkan ijazah, karena yang menentukan kemajuan sebuah bangsa bukan tingginya tumpukan ijazah, tetapi tumpukan karya.
Dengan cara pandang pemerintah yang lebih tertuju kepada nilai kelulusan, tidak usah heran apabila yang lalu dikejar adalah nilai. Anak didik bukan belajar untuk mempersiapkan diri, tetapi mencoba mencari bocoran dari jawaban UAN.
Tidak usah heran apabila menjelang UAN sekolah juga sibuk menjaga jangan sampai materi UAN sampai bocor. Tempat percetakan materi UAN dijaga seperti percetakan uang negara. Para pegawai percetakan digeledah seperti karyawan Peruri.
Kita memang harus mendorong agar anak-anak Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Agar kita bisa menjadi pemenang dalam era globalisasi, kita harus mampu membangun manusia-manusia yang berkualitas.
Pembangunan knowledge based society tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang artifisial. Itu harus ditempuh dengan cara-cara yang konseptual dan contoh-contoh baik yang bisa ditiru oleh anak-anak didik.
Bagaimana kita akan bisa mengajarkan anak-anak untuk jujur dan disiplin, ketika yang setiap hari mereka lihat adalah ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan dari para pejabat. Anggota-anggota DPR yang malas untuk mengikuti sidang dan bahkan tidur di ruang sidang menjadi contoh buruk bagi anak-anak kita.
Kita meminta anak-anak didik untuk rajin belajar dan tidak mencoba mencuri-curi soal ujian, sementara yang mereka lihat para pejabat yang berlomba-lomba mencuri uang negara. Anak-anak dipertontonkan oleh pejabat yang pamer gelar akademik, namun miskin dalam aplikasi ilmu pengetahuan.
Persoalan pendidikan yang kita hadapi bukan hanya persoalan rendah nilai rata-rata kelulusan. Persoalan yang kita hadapi jauh lebih berat dari itu. Persoalan esensi dari pendidikan yang kita lakukan, yang sama sekali tidak mengasah kecerdasan anak didik, tetapi lebih mencekoki anak-anak.
Oleh karena itu pemecahannya tidak cukup dengan menaikkan nilai kelulusan UAN, tetapi membenahi sistem pendidikan. Standardisasi proses belajar-mengajar, penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai, orientasi dari proses pendidikan harus didahulukan.
Tanpa itu maka kita akan terus menghadapi persoalan yang sama. Setiap kali UAN akan dilaksanakan, orang hanya sekadar khawatir karena tidak memahami apa sebenarnya manfaat dari UAN, kecuali sekadar untuk menyatakan lulus atau tidak lulus dari anak didik.(metrotvnews.com)
Komentar