Mengenal Bung Karno
Tulisan berikut diambil dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, pada bab 3 halaman 12 dan 13, sengaja ditulis dalam bentuk aslinya.
Jika Anda ingin mendownload buku tersebut selengkapnya silakan klik di sini.
Jika Anda ingin mendownload buku tersebut selengkapnya silakan klik di sini.
“MASA kanak-kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield Aku dilahirkan ditengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunjai sepatu. Aku mandi tidak dalam air jang keluar dari kran.
Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan jang keterlaluan demikian ini dapat menjebabkan hati ketjil didalam mendjadi sedih. Dengan kakakku perempuan Sukarmini, jang dua tahun lebih tua daripadaku, kami merupakan suatu keluarga jang terdiri dari empat orang. Gadji bapak f 25 sebuIan. Dikurangi sewa rumah kami di Djalan Pahlawan 88, neratja mendjadi f 15 dan dengan perbandingan kurs pemerintah f 3,60 untuk satu dollar dapatlah dikira-kira betapa rendahnja tingkat penghidupan keluarga kami. Ketika aku berumur enam tahun kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal didaerah jang melarat dan keadaan tetanggatetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunjai sisa uang sedikit untuk membeli pepaja atau djadjan lainnja.
Tapi aku tidak. Tidak pernah. Lebaran adalah hari besar bagi ummat Islam, hari penutup dari bulan puasa, pada bulan mana para penganutnja menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak melewatkan sesuatu melalui mulut mulai dari terbitnja matahari sampai ia terbenam lagi. Kegembiraan dihari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah. Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punja uang untuk itu. Dimalam sebelum Lebaran sudah mendjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannja dan diwaktu itupun mereka melakukannja. Semua, ketjuali aku.
Tapi aku tidak. Tidak pernah. Lebaran adalah hari besar bagi ummat Islam, hari penutup dari bulan puasa, pada bulan mana para penganutnja menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak melewatkan sesuatu melalui mulut mulai dari terbitnja matahari sampai ia terbenam lagi. Kegembiraan dihari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah. Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punja uang untuk itu. Dimalam sebelum Lebaran sudah mendjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannja dan diwaktu itupun mereka melakukannja. Semua, ketjuali aku.
Dihari Lebaran lebih setengah abad jang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar-tidurku jang ketjil jang hanja tjukup untuk satu tempat-tidur. Dengan hati jang gundah aku mengintip keluar arah kelangit melalui tiga buah lobang-udara jang ketjil-ketjil pada dinding bambu. Lobang-udara itu besarnja kira-kira sebesar batubata. Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan petjah. Disekeliling terdengar bunji petasan berletusan disela oleh sorak-sorai kawankawanku karena kegirangan. Betapa hantjur-luluh rasa hatiku jang ketjil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan djalan bagaimanapun dapat membeli petasan jang harganja satu sen itu—dan aku tidak !
Alangkah dahsjatnja perasaan itu. Mau mati aku rasanja. Satu-satunja djalan bagi seorang anak untuk mempertahankan diri ialah dengan melepaskan sedu-sedan jang tak terkendalikan dan meratap diatas tempat-tidurnja. Aku teringat ketika aku menangis kepada ibu dan mengumpat, ,,Dari tahun ketahun aku selalu berharap-harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mertjon.” Aku sungguh menjesali diriku sendiri. Kemudian dimalam harinja datang seorang tamu menemui bapak. Dia memegang bungLusan ketjil ditangannja. ,,Ini,” katanja sambil mengulurkan bingkisan itu kepadaku. Aku sangat gemetar karena terharu mendapat hadiah itu, sehingga hampir tidak sanggup membukanja. Isinja petasan. Tak ada harta, lukisan ataupun istana didunia ini jang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Dan kedjadian ini tak dapat kulupakan untuk selama-lamanja.
Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan ialah ubi kaju, djagung tumbuk dengan makanan lain. Bahkan ibu tidak mampu membeli beras murah jang biasa dibeli oleh para petani. Ia hanja bisa membeli padi. Setiap pagi ibu mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti-hentinja menumbuk butiran-butiran berkulit itu sampai mendjadi beras seperti jang didjual orang dipasar.,,Dengan melakukan ini aku menghemat uang satu sen,” katanja kepadaku pada suatu hari ketika sedang bekerdja dalam teriknja panas matahari sampai telapak tangannja merah dan melepuh. ,,Dan dengan uang satu sen kita dapat membeli sajuran, ‘nak.” Semendjak hari itu dan seterusnja selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat kesekolah aku menumbuk padi untuk ibuku. Kemelaratan seperti jang kami derita menjebabkan orang mendjadi akrab.
Apabila tidak ada barang mainan atau untuk dimakan, apabila nampaknja aku tidak punja apa-apa didunia ini selain daripada ibu, aku melekat kepadanja karena ia adalah satu-satunja sumber pelepas kepuasan hatiku. Ia adalah ganti gula-gula jang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku jang ada didunia ini. Jah, ibu mempunjai hati jang begitu besar dan mulia. Dalam pada itu bapakku seorang guru jang keras. Sekalipun sudah berdjam-djam, ia masih tega menjuruhku beladjar membatja dan menulis. ,,Hajo, Karno, hafal ini luar kepala. Ha—Na—Tja—Ra— Ka Hajo, Karno, hafal ini; A-B-C-D-E” dan terus-menerus sampai kepalaku jang malang ini merasa sakit. Lagi-lagi kemudian, ,,Hajo Karno, ulangi abdjad Hajo, Karno, batja ini Karno, tulis itu ” Tapi ajahku mempunjai kejakinan, bahwa anaknja jang lahir disaat fadjar menjingsing itu kelak akan mendjadi orang.
Kalau aku berbuat nakal—ini djarang terdjadi—dia menghukumku dengan kasar. Seperti dipagi itu aku memandjat pohon djambu dipekarangan rumah kami dan aku mendjatuhkan sarang burung. Ajah mendjadi putjat karena marah. ,,Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaja menjajangi binatang,” ia menghardik.Aku bergontjang ketakutan. ,,Ja, Pak.”,,Engkau dapat menerangkan arti kata-kata: ‘Tat Twan Asi, Tat Twam Asi’ ?”,,Artinja ‘Dia adalah Aku dan Aku adalah dia; engkau adalah Aku dan Aku adalah engkau.’ “,,Dan apakah tidak kuadjarkan kepadamu bahwa ini mempunjai arti jang penting ?”,,Ja, Pak. Maksudnja, Tuhan berada dalam kita semua,” kataku dengan patuh. Dia memandang marah kepada pesakitannja jang masih berumur tudjuh tahun. ,,Bukankah engkau sudah ditundjuki untok melindungi machluk Tuhan ?”,,Ja, Pak.”,,Engkau dapat mengatakan apa burung dan telor itu ?”,,Tjiptaan Tuhan,” djawabku dengan gemetar, ,,tapi dia djatuh karena tidak disengadja. Tidak saja sengadja. “Sekalipun dengan permintaan ma’af demikian, bapak memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang jang baik laku, akan tetapi bapak menghendaki disiplin jang keras dan tjepat marah kalau aturannja tidak dituruti. Aku segera mentjari permainan jang tidak usah mengeIuarkan uang untuk memperolehnja.
Dekat rumah kami tumbuh sebatang pohon dengan daunnja jang lebar. Daun itu udjungnja ketjil, lalu mengernbang lebar dipangkalnja dan tangkainja pandjang seperti dajung. Adalah suatu hari jang gembira bagi anak-anak, kalau setangkai daun gugur, karena ini berarti bahwa kami mempunjai permainan. Seorang lalu duduk dibagian daun jang lebar, sedang jang lain menariknja pada tangkai jang pandjang itu dan permainan ini tak ubahnja seperti eretan. Kadang-kadang aku mendjadi kadanja, tapi biasanja mendjadi kusir. Watakku mulai berbentuk sekalipun sebagai kanak-kanak. Aku mendjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia mendjadi tempat dimana anak-anak jang tidak punja dapat bermain dengan tjuma-tjuma. Dan iapun mendjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha keras untuk menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan ketjil untuk dimasak. Alasan jang tidak mementingkan diri sendiri demikian itu pada suatu kali menjebabkan aku kena gandjaran tjambuk. Hari sudah mulai sendja. Ketika bapakku melihat bahwa hari mulai gelap dan botjah Sukarno tidak ada dirumah, dia menuntut ibu dengan keras: ,,Kenapa dia bersenang-senang tak keruan begitu lama ? Apa dia. Tidak punja pikiran terhadap ibunja ? Apa dia tidak tahu bahwa ibunja akan susah kalau terdjadi ketjelakaan ?”,,Negeri begini ketjil, Pak, tidak mungkin kita tidak mengetahui kalau terdjadi ketjelakaan,” ibu menerangkan. Sekalipun demikian, bapak jang agak keras kepala marah dan ketika aku sedjam kemudian melondjak-londjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku, merampas ikan dan semua jang ada padaku, lalu aku dirotan sedjadi-djadinja.
Tetapi ibu selalu mengimbangi tindakan disiplin itu dengan kebaikan hatinja. Oh, aku sangat mentjintai ibu. Aku berlari berlindung kepangkuan ibu dan dia membudjukku. Sekalipun rumput-rumput kemelaratan mentjekik kami, namun bunga-bunga tjinta tetap mengelilingiku selalu. Aku segera menjadari bahwa kasih-sajang menghapus segala jang buruk. Keinginan akan tjinta-kasih telah mendiadi suatu kekuatan pendorong dalam hidupku.
Disamping ibu ada Sarinah, gadis-pembantu kami jang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah-tangga bukanlah pelajan menurut pengertian orang barat. Dikepulauan kami, kami hidup berdasarkan azas gotongrojong. Kerdjasama. Tolong-menolong, Gotong-rojong sudah mendarah-daging dalam djiwa kami bangsa lndonesia. Dalam masjarakat jang asli kami tidak mengenal kerdja dengan upah. Manakala harus dilakukan pekerdjaan jang berat, setiap orang turut membantu engkau perlu mendirikan rumah ? Baik, akan kubawakan batu tembok; kawanku membawa semen. Kami berdua membantumu mendirikannja. ltulah gotong-rojong.”***
Komentar