Gejolak Demonstrasi di Indonesia: Antara Tuntutan Keadilan dan Krisis Kepercayaan Publik
Dalam beberapa hari terakhir, di pekan terakhir Agustus sampai awal September 2025, Indonesia diguncang oleh gelombang aksi demonstrasi yang menjalar ke berbagai wilayah. Dari Jakarta, Makassar, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, hingga Manokwari, ribuan massa turun ke jalan mengekspresikan kekecewaan mereka. Pemicu awalnya adalah keputusan pemerintah dan DPR terkait tunjangan perumahan fantastis bagi anggota parlemen yang mencapai sekitar Rp 50 juta per bulan. Kebijakan ini dianggap tidak adil dan sangat kontras dengan kondisi masyarakat yang masih berjuang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok serta angka pengangguran yang tinggi.
Situasi memanas ketika seorang pengendara ojek online bernama Affan Kurniawan (21 tahun) tewas tertabrak kendaraan taktis polisi saat terjadi unjuk rasa. Tragedi ini memicu gelombang solidaritas, terutama dari kalangan mahasiswa, buruh, dan komunitas transportasi online. Bagi publik, peristiwa tersebut menjadi simbol ketidakadilan sekaligus bukti kegagalan negara melindungi warganya.
Eskalasi protes semakin meluas. Di Makassar, massa membakar gedung DPRD regional hingga menewaskan sedikitnya tiga orang. Di Jakarta, demonstran berhadapan langsung dengan aparat kepolisian di sekitar gedung parlemen dan markas Brimob. Pos polisi, kendaraan dinas, dan fasilitas publik ikut menjadi sasaran kemarahan massa. Sementara itu, beberapa rumah pejabat tinggi, termasuk kediaman Menteri Keuangan, tak luput dari aksi penjarahan. Ratusan hingga ribuan orang dilaporkan ditangkap, mempertegas ketegangan antara negara dan rakyatnya.
Menghadapi situasi ini, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah cepat dengan membatalkan tunjangan DPR, menghentikan perjalanan dinas anggota parlemen ke luar negeri, serta menjanjikan penyelidikan atas kematian Affan Kurniawan. Namun di sisi lain, presiden juga menegaskan bahwa aksi yang dinilai melampaui batas bisa digolongkan sebagai pengkhianatan atau bahkan terorisme. Aparat kepolisian dan militer diperintahkan untuk meningkatkan pengamanan, sementara pemerintah meminta perusahaan media sosial membatasi siaran langsung yang berpotensi memprovokasi massa.
Fenomena ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap elit politik dan institusi negara. Rakyat merasa kebijakan pemerintah kerap tidak sejalan dengan kondisi nyata yang mereka hadapi sehari-hari. Kesenjangan antara janji politik, gaya hidup pejabat, dan realitas masyarakat semakin memperlebar jurang ketidakpuasan. Bagi banyak orang, aksi demonstrasi bukan lagi sekadar reaksi terhadap kebijakan tunggal, melainkan ungkapan frustrasi atas akumulasi ketidakadilan sosial-ekonomi yang dirasakan bertahun-tahun.
Di tengah gejolak ini, pemerintah menghadapi dilema besar: bagaimana meredam kemarahan rakyat tanpa mengorbankan nilai demokrasi? Langkah represif mungkin mampu menghentikan kerusuhan dalam jangka pendek, namun tanpa dialog yang jujur, transparansi kebijakan, dan keberpihakan nyata pada rakyat, potensi kembalinya gelombang demonstrasi akan selalu terbuka.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa suara rakyat tidak bisa diabaikan, apalagi ketika rasa keadilan mereka terusik. Aksi demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini bukan hanya serangkaian protes biasa, melainkan alarm keras bagi pemerintah untuk kembali menata arah kebijakan, memperkuat komunikasi dengan publik, dan memastikan bahwa kesejahteraan rakyat selalu menjadi prioritas utama #(mt)
Komentar