Bung Karno dan Secarik Kertas
Asvi Warman Adam
Bung Karno dan Secarik Kertas
SIDANG MPR tahun 2003 mengagendakan pembahasan TAP MPRS dan MPR yang salah satunya menyangkut hubungan Sukarno dengan Gerakan 30 September 1965. Betulkah sang proklamator terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut?
Pada masa pemerintahan Orde Baru, yang beredar dan boleh diketahui masyarakat hanya satu versi sejarah mengenai percobaan kudeta itu yaitu komunis berada di balik peristiwa tersebut. Soekarno diturunkan karena tidak mau mengutuk PKI. Namun belakangan ini semakin banyak versi yang sudah diketahui umum yang berbeda dengan tafsir rezim Orba (seperti campur tangan pihak asing CIA, konflik intern Angkatan Darat, sampai keterlibatan Sukarno dan “kudeta merangkak” Soeharto). Bahkan versi yang terakhir ini semakin banyak dibicarakan.
Dari berbagai buku yang ditulis mengenai G30S/1965, versi tentang keterlibatan Sukarno sangat langka, salah satunya adalah tesis yang dikemukakan oleh Antonie C.A.Dake dalam bukunya “In the spirit of the red banteng; Indonesian communist between Moscow and Peking 1959-1965”. Buku ini pada mulanya diterbitkan oleh Mouton, The Hague, Belanda, tahun 1973, yang kemudian dicetak ulang di Jakarta oleh Aksara Karunia tahun 2002. Yang dilupakan oleh penerbit di Indonesia bahwa buku itu berasal dari disertasi pada Free University of West Berlin. Dalam konteks perang dingin, dari nama Universitas itu saja kita bisa menebak arah pengajaran dan penelitian yang dilakukan di sana. Dake sendiri juga menyebutkan kedekatannya dengan Dr Guy Pauker, dari Rand Corporation, California –lembaga pengkajian strategis yang dekat dengan militer AS.
Setelah berselang 30 tahun, Dake tetap pada pendiriannya seperti terlihat dalam pengantar edisi kedua yang diterbitkan di Jakarta, bahwa inisiatif G30S berasal dari Presiden Sukarno sendiri. Pada edisi kedua itu dilampirkan hasil laporan pemeriksaan Kopkamtib terhadap Bambang Widjanarko, mantan ajudan Bung Karno setebal 50 halaman. Laporan ini yang menjadi sumber utama Dake. Widjanarko memang menyebutkan pertemuan Tampak Siring, Bali pada hari ulang tahun BK ke-64 bulan Juni 1965. Soeharto memang biasa mengajak para Menteri Koordinator, seperti Leimena, Chairul Saleh, Subandrio dan beberapa orang lainnya untuk pesta ulang tahun di Bali. Menurut berkas Kopkamtib tersebut konon waktu itu disinggung tentang adanya jenderal yang loyal dan tidak loyal terhadap Sukarno. Dalam laporan itu dikesankan seolah-olah terdapat “skenario Tampak Siring” untuk menyingkirkan para perwira tinggi yang tidak loyal tersebut. Dalam peluncuran buku Bambang Widjanarko “Sewindu Dekat Bung Karno”, yang pertama kali dicetak tahun Agustus 1988, terungkap tekanan yang dialami mantan adjudan Sukarno itu selama interogasi (Oktober 1970) oleh Kopkamtib tersebut. Ia hanya boleh menjawab pertanyaan sesuai alur yang dikehendaki penanya.
Bung Karno yang setelah berpidato di Senayan tanggal 30 September 1965 malam pergi ke toilet dan membuka secarik kertas yang diberikan kepadanya melalui Bambang Widjanarko.Widjanarko sendiri mengakui bahwa ia tidak melihat atau membaca pesan yang ada pada secarik kertas tersebut. Meskipun demikian, disimpulkan oleh Kopkamtib bahwa Sukarno sudah mengetahui rencana kudeta G30S dengan membaca pesan tersebut. Maulwi Saelan yang saat itu selalu mengawal Bung Karno membantah adanya adegan di atas.
Setelah itu Bung Karno pergi menjemput istrinya Dewi yang sedang mengikuti resepsi diplomatik di Hotel Indonesia. Dari Hotel Indonesia, mereka pulang ke Wisma Yaso yang merupakan kediaman Dewi larut malam dan Sukarno tidur di sana sampai pagi. Karena sesungguhnya tidak ada yang tahu apa isi memo yang disampaikan kepada Bung Karno malam itu, saya sendiri cendrung menduga bahwa itu pesan dari Dewi agar Sukarno segera menjemputnya ke Hotel Indonesia.
Seandainya adegan yang disebut dalam hasil interogasi Kopkamtib itu benar-benar ada, maka tampak begitu signifikan pesan yang tertulis dalam memo tersebut. Gara-gara sepotong kertas yang misterius itu yang kemudian dimasukkan Sukarno ke sakunya, sang proklamator dituduh terlibat G30S bahkan mengambil inisiatif untuk melakukan tindakan makar terhadap dirinya sendiri. Berkat secarik kertas itu sebuah disertasi dapat dihasilkan dan kemudian sebuah penerbit di Indonesia dengan bangga mencetak ulang. Karena selembar kertas kecil itu nama baik seorang pahlawan nasional Indonesia kemudian tercemar.
Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris.
Sumber: Tempo, 4-10 Agustus 2003
Bung Karno dan Secarik Kertas
SIDANG MPR tahun 2003 mengagendakan pembahasan TAP MPRS dan MPR yang salah satunya menyangkut hubungan Sukarno dengan Gerakan 30 September 1965. Betulkah sang proklamator terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut?
Pada masa pemerintahan Orde Baru, yang beredar dan boleh diketahui masyarakat hanya satu versi sejarah mengenai percobaan kudeta itu yaitu komunis berada di balik peristiwa tersebut. Soekarno diturunkan karena tidak mau mengutuk PKI. Namun belakangan ini semakin banyak versi yang sudah diketahui umum yang berbeda dengan tafsir rezim Orba (seperti campur tangan pihak asing CIA, konflik intern Angkatan Darat, sampai keterlibatan Sukarno dan “kudeta merangkak” Soeharto). Bahkan versi yang terakhir ini semakin banyak dibicarakan.
Dari berbagai buku yang ditulis mengenai G30S/1965, versi tentang keterlibatan Sukarno sangat langka, salah satunya adalah tesis yang dikemukakan oleh Antonie C.A.Dake dalam bukunya “In the spirit of the red banteng; Indonesian communist between Moscow and Peking 1959-1965”. Buku ini pada mulanya diterbitkan oleh Mouton, The Hague, Belanda, tahun 1973, yang kemudian dicetak ulang di Jakarta oleh Aksara Karunia tahun 2002. Yang dilupakan oleh penerbit di Indonesia bahwa buku itu berasal dari disertasi pada Free University of West Berlin. Dalam konteks perang dingin, dari nama Universitas itu saja kita bisa menebak arah pengajaran dan penelitian yang dilakukan di sana. Dake sendiri juga menyebutkan kedekatannya dengan Dr Guy Pauker, dari Rand Corporation, California –lembaga pengkajian strategis yang dekat dengan militer AS.
Setelah berselang 30 tahun, Dake tetap pada pendiriannya seperti terlihat dalam pengantar edisi kedua yang diterbitkan di Jakarta, bahwa inisiatif G30S berasal dari Presiden Sukarno sendiri. Pada edisi kedua itu dilampirkan hasil laporan pemeriksaan Kopkamtib terhadap Bambang Widjanarko, mantan ajudan Bung Karno setebal 50 halaman. Laporan ini yang menjadi sumber utama Dake. Widjanarko memang menyebutkan pertemuan Tampak Siring, Bali pada hari ulang tahun BK ke-64 bulan Juni 1965. Soeharto memang biasa mengajak para Menteri Koordinator, seperti Leimena, Chairul Saleh, Subandrio dan beberapa orang lainnya untuk pesta ulang tahun di Bali. Menurut berkas Kopkamtib tersebut konon waktu itu disinggung tentang adanya jenderal yang loyal dan tidak loyal terhadap Sukarno. Dalam laporan itu dikesankan seolah-olah terdapat “skenario Tampak Siring” untuk menyingkirkan para perwira tinggi yang tidak loyal tersebut. Dalam peluncuran buku Bambang Widjanarko “Sewindu Dekat Bung Karno”, yang pertama kali dicetak tahun Agustus 1988, terungkap tekanan yang dialami mantan adjudan Sukarno itu selama interogasi (Oktober 1970) oleh Kopkamtib tersebut. Ia hanya boleh menjawab pertanyaan sesuai alur yang dikehendaki penanya.
Bung Karno yang setelah berpidato di Senayan tanggal 30 September 1965 malam pergi ke toilet dan membuka secarik kertas yang diberikan kepadanya melalui Bambang Widjanarko.Widjanarko sendiri mengakui bahwa ia tidak melihat atau membaca pesan yang ada pada secarik kertas tersebut. Meskipun demikian, disimpulkan oleh Kopkamtib bahwa Sukarno sudah mengetahui rencana kudeta G30S dengan membaca pesan tersebut. Maulwi Saelan yang saat itu selalu mengawal Bung Karno membantah adanya adegan di atas.
Setelah itu Bung Karno pergi menjemput istrinya Dewi yang sedang mengikuti resepsi diplomatik di Hotel Indonesia. Dari Hotel Indonesia, mereka pulang ke Wisma Yaso yang merupakan kediaman Dewi larut malam dan Sukarno tidur di sana sampai pagi. Karena sesungguhnya tidak ada yang tahu apa isi memo yang disampaikan kepada Bung Karno malam itu, saya sendiri cendrung menduga bahwa itu pesan dari Dewi agar Sukarno segera menjemputnya ke Hotel Indonesia.
Seandainya adegan yang disebut dalam hasil interogasi Kopkamtib itu benar-benar ada, maka tampak begitu signifikan pesan yang tertulis dalam memo tersebut. Gara-gara sepotong kertas yang misterius itu yang kemudian dimasukkan Sukarno ke sakunya, sang proklamator dituduh terlibat G30S bahkan mengambil inisiatif untuk melakukan tindakan makar terhadap dirinya sendiri. Berkat secarik kertas itu sebuah disertasi dapat dihasilkan dan kemudian sebuah penerbit di Indonesia dengan bangga mencetak ulang. Karena selembar kertas kecil itu nama baik seorang pahlawan nasional Indonesia kemudian tercemar.
Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris.
Sumber: Tempo, 4-10 Agustus 2003
Komentar