Landasan Filosofis dan Pedagogis Pembelajaran Mendalam
Filosofi pendidikan memiliki peran fundamental dalam membangun sistem pendidikan yang berorientasi pada pengembangan manusia secara utuh. Filosofi ini menjadi landasan yang mengarahkan tujuan dan proses pendidikan agar senantiasa relevan dengan konteks sosial, budaya, dan tantangan zaman. Sebagaimana ditegaskan oleh John Dewey, pendidikan bukanlah sekadar persiapan untuk hidup di masa mendatang, namun juga merupakan kehidupan itu sendiri. Hal ini berarti pendidikan tidak hanya menjadi sarana transfer ilmu, tetapi juga alat untuk membangun masyarakat ideal yang mencerminkan nilai-nilai universal seperti kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan, dengan mengintegrasikannya ke dalam pengalaman hidup peserta didik.
Para filsuf ternama seperti Dewey, Ausubel, Ornstein & Hunkins, hingga Ralph Tyler, menekankan pentingnya filosofi pendidikan dalam menciptakan sistem yang visioner dan dinamis. Filosofi ini merefleksikan cita-cita manusia dalam membangun masyarakat inklusif dan progresif. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi sarana untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai instrumen transformasi sosial yang memungkinkan manusia terus berkembang seiring perubahan zaman.
Pendidikan yang ideal tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memerdekakan, membentuk karakter, dan memberdayakan manusia untuk berkontribusi positif kepada masyarakat. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus berorientasi pada kemandirian peserta didik, didukung oleh sistem among yang mencakup nilai asah, asih, asuh. Dalam pandangannya, pendidikan harus berakar pada budaya bangsa, berfungsi sebagai pranata sosial yang melestarikan dan mengembangkan kebudayaan, serta menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, sebagaimana tercermin dalam konsep “Taman Siswa.”
Filosofi ini sejalan dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, yang melihat pendidikan sebagai alat perubahan sosial. Baginya, pendidikan bukan hanya transfer ilmu, melainkan proses pembentukan manusia berintegritas yang berperan aktif dalam menciptakan masyarakat berkemajuan dengan prinsip berbuat untuk kebaikan bersama tanpa memperalat orang lain.
Selanjutnya KH. Ahmad Dahlan menekankan tujuh prinsip filosofis yang perlu menjadi landasan dalam proses pendidikan, yaitu (1) berasaskan pada tujuan hidup; (2) tidak sombong, tidak takabur; (3) kegigihan belajar untuk ketuntasan kinerja; (4) mengoptimalkan penggunaan akal untuk menemukan kebenaran sejati; (5) berani menegakkan kebenaran; (6) berbuat untuk kebaikan sesama, bukan untuk memperalat mereka; dan (7) pengamalan ilmu agama dengan tingkat kualitas tinggi untuk kemanfaatan bersama (Hajid, 2005). Dengan demikian KH. Ahmad Dahlan juga menegaskan pentingnya pendidikan sebagai alat perubahan sosial dan pendidikan harus melahirkan manusia yang berperan aktif untuk mewujudkan masyarakat berkemajuan. Lebih jauh, pendidikan harus mampu menjawab kebutuhan kolektif dan individu dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, intelektual, dan sosial secara holistik.
K.H. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan sejahtera melalui pendekatan yang inklusif, bermutu, dan relevan. Nilai-nilai mabadi khaira ummah seperti integritas, etos kerja, dan keadilan menjadi landasan penting dalam pembelajaran yang moderat dan adaptif. Pandangan ini bersinergi dengan gagasan Ki Bagus Hadikusumo, yang percaya bahwa pendidikan harus mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti kemampuan melakukan analisis dan sintesis, sehingga peserta didik mampu memahami dan menghadapi tantangan yang kompleks.Pendidikan juga harus bersifat transformatif, bermakna, dan berpihak kepada kelompok termarjinalkan.
Romo Y.B. Mangunwijaya mengemukakan bahwa pendidikan harus menjadi jalan pembebasan melalui dialog lintas budaya dan pemahaman kontekstual. Dalam pendekatan ini, peserta didik tidak hanya menjadi penerima ilmu, tetapi juga aktor perubahan sosial yang aktif dalam menyelesaikan masalah nyata melalui refleksi dan kolaborasi. Prinsip ini sejalan dengan gagasan Ki Hajar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan yang menekankan bahwa pendidikan harus relevan dengan kehidupan sosial, membangun masyarakat yang adil, dinamis, dan berbasis nilai.
Semangat saling memuliakan dalam lingkungan pendidikan, sebagaimana diajarkan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari, berpusat pada penghormatan mendalam terhadap tiga elemen penting: guru, teman sejawat, dan sumber ilmu. Menghormati guru berarti mengakui peran mereka sebagai pendidik dan teladan, dengan mendengarkan, mematuhi, dan bersikap sopan. Menghormati teman sejawat menciptakan lingkungan yang kolaboratif, di mana semua pihak saling mendukung dan berbagi ilmu tanpa iri hati. Sementara itu, menghormati sumber ilmu mengajarkan pentingnya menjaga kesucian ilmu dengan memanfaatkannya untuk tujuan mulia dan tetap rendah hati dalam pencapaian intelektual sangat dianjurkan oleh KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan juga mengajarkan bahwa pendidikan yang memuliakan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran sosial dan menumbuhkan semangat melayani sesama sebagai bentuk ibadah. Romo Y.B. Mangunwijaya menambahkan bahwa penghormatan terhadap martabat manusia, terutama kaum yang terpinggirkan, menjadikan pendidikan sarana pembebasan dan pemberdayaan.
Senada dengan itu, Ki Bagus Hadikusumo menekankan pentingnya membangun integritas moral yang kokoh sebagai pondasi utama dalam memuliakan kehidupan bersama. Dengan fondasi ini, pendidikan tidak hanya menjadi wadah pembelajaran yang efektif tetapi juga membentuk karakter yang kuat, menumbuhkan nilai-nilai spiritual, serta menciptakan harmoni antara aspek intelektual, moral, dan spiritual dalam proses pendidikan.
Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan, berbagai tokoh nasional dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu turut menyumbangkan pandangan filosofis yang mendalam mengenai pendidikan. Mereka menekankan pentingnya pembentukan karakter, penghormatan terhadap ilmu pengetahuan, dan pemberian manfaat bagi masyarakat. Meskipun setiap tokoh memiliki penekanan yang berbeda-beda, kontribusi mereka berperan dalam membangun pendidikan Indonesia yang beradab, berkeadilan, dan sesuai dengan tuntutan zaman.
Selanjutnya Syaikh Az-Zarnuji (2009) dalam Ta’līm al-Muta’allim menekankan pentingnya adab dan metode belajar yang efektif dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat. Salah satu konsep utama yang relevan dengan PM adalah urgensi kesungguhan dan niat yang ikhlas dalam belajar sehingga peserta didik mendapat kemanfaatannya. Pembelajaran juga terkait erat dengan adab memuliakan, yang mencakup penghormatan terhadap ilmu dan guru. Dalam proses ini, peserta didik dan guru saling memuliakan dalam berinteraksi.
Prinsip ini sejalan dengan salah satu dari empat kerangka PM, yaitu lingkungan pembelajaran, yang menekankan pentingnya budaya belajar yang positif. Selain kesungguhan dalam belajar, interaksi yang baik dengan ilmu, guru, dan sesama peserta didik menjadi faktor penting dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif.Az-Zarnuji (2009) juga menyoroti pentingnya strategi belajar yang sistematis, seperti memahami makna sebelum menghafal, serta mengulang dan mendiskusikan pelajaran. Dalam konteks PM, strategi ini mencerminkan pendekatan berbasis inkuiri dan kolaborasi, di mana peserta didik tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga secara aktif membangun pemahaman melalui eksplorasi, diskusi, dan refleksi mendalam.
Konsep kesadaran dalam belajar yang dibahas Syaikh Az-Zarnuji juga relevan dengan prinsip PM yang berorientasi pada pembelajaran berkesadaran. Peserta didik didorong untuk memiliki kesadaran dan motivasi belajar, mempersiapkan diri sebelum belajar, serta memahami pengalaman belajar yang diberikan oleh guru. Selain itu, pengalaman belajar yang menekankan pemahaman dan pengamalan, selaras dengan tahapan dalam PM, yaitu memahami, mengaplikasi, dan merefleksi. Pembelajaran bukan hanya sekadar menghafal, tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu agar menjadi bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, pandangan-pandangan ini saling melengkapi untuk membangun sistem pendidikan yang tidak hanya fokus pada kecakapan intelektual, tetapi juga pada pembentukan karakter dan pemberdayaan manusia. Dengan integrasi pemikiran ini, pendidikan menjadi fondasi untuk mewujudkan generasi yang tidak hanya terampil secara akademis, tetapi juga memiliki integritas moral, empati sosial, dan spiritualitas yang kokoh. Sistem pendidikan seperti ini tidak hanya relevan dengan perkembangan zaman, tetapi juga memberi arah yang jelas dalam menghadapi tantangan global di masa depan.
Pembelajaran Mendalam sejalan dengan pemikiran para filsuf pendidikan, karena PM menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses pembelajaran, dengan menciptakan suasana belajar yang berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful). Pendekatan ini semakin relevan dalam menghadapi dunia yang penuh kompleksitas dan ketidakpastian, dengan cara mengintegrasikan olah pikir (intelektual), olah hati (etika), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestetik) secara holistik dan terpadu.
Pembelajaran Mendalam tidak hanya bertujuan meningkatkan kemampuan akademik, tetapi juga membentuk karakter, kreativitas, dan empati, sehingga peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh dan selaras dengan tuntutan global. PM menekankan bahwa pembelajaran bukan sekadar transfer ilmu, melainkan penciptaan suasana yang memuliakan peserta didik. Filosofi ini berlandaskan pandangan pendidikan holistik yang mengedepankan keseimbangan antara aspek intelektual, emosional, spiritual, dan fisik. Melalui pembelajaran berkesadaran, peserta didik diajak untuk hadir secara penuh dalam setiap aktivitas belajar.
Pendekatan ini menegaskan pentingnya sinkronisasi antara pikiran, perasaan, dan tindakan, sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui sistem among yang berbasis nilai asah, asih, dan asuh. Dengan kesadaran penuh, peserta didik diajak memahami bahwa belajar adalah proses refleksi mendalam yang melibatkan penerimaan terhadap keragaman perspektif dan komitmen untuk terus berkembang.
Pembelajaran bermakna dalam PM memastikan bahwa materi yang diajarkan relevan dengan kehidupan nyata peserta didik. Dengan menghubungkan pembelajaran pada konteks budaya, sosial, dan tantangan sehari-hari, PM memotivasi peserta didik untuk berpikir kritis, analitis, dan sintesis dalam memecahkan masalah kompleks. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan KH. Ahmad Dahlan yang memandang pendidikan sebagai alat perubahan sosial yang membangkitkan kesadaran kolektif. Dengan pembelajaran bermakna, peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan praktis, tetapi juga membangun wawasan untuk berkontribusi secara positif terhadap masyarakat.
Suasana belajar yang menggembirakan merupakan prinsip utama PM, di mana pembelajaran dirancang agar bebas dari tekanan yang berlebihan dan penuh dengan antusiasme. Filosofi ini menggemakan prinsip Taman Siswa yang dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara, di mana kebebasan berekspresi, kenyamanan, dan motivasi intrinsik peserta didik dipupuk. Dalam suasana belajar yang menggembirakan ini, peserta didik termotivasi untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan dengan semangat dan keinginan mendalam, karena dilandasi oleh keamanan psikologis yang membebaskan mereka dari rasa takut dan memungkinkan mereka untuk berekspresi, berpikir kritis, dan berkreasi tanpa hambatan.
Dimensi olah pikir dalam PM berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual peserta didik melalui eksplorasi, eksperimen, dan inovasi. Pendekatan ini menekankan integrasi antara teori dan praktik untuk memotivasi pola pikir adaptif dan solusi kreatif. Dimensi olah hati dan olah rasa memperkuat nilai-nilai moral, etika, dan estetika, membentuk peserta didik yang berintegritas, berempati, dan berkomitmen terhadap keadilan.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Bagus Hadikusumo dan Romo Y.B. Mangunwijaya yang menekankan pentingnya pendidikan berbasis moralitas dan penghormatan terhadap martabat manusia.Dimensi olahraga melengkapi PM dengan mengedepankan keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental. Melalui aktivitas fisik yang terintegrasi dalam pembelajaran, peserta didik diajak untuk menjaga kesehatan tubuh sebagai fondasi dari keberhasilan akademik dan kehidupan. Pendekatan ini menanamkan nilai disiplin, ketekunan, dan daya tahan, sekaligus menyadarkan peserta didik bahwa tubuh yang sehat mendukung pikiran yang tajam dan hati yang tenang.
PM juga menumbuhkan semangat saling memuliakan di lingkungan pendidikan, dengan menempatkan penghormatan sebagai inti dari proses pembelajaran. Sebagaimana diajarkan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari, lingkungan pendidikan yang baik harus mencerminkan penghormatan terhadap guru, teman sejawat, dan sumber ilmu. Guru dihormati sebagai pembimbing penuh kasih sayang, teman sejawat dihargai dalam semangat kolaborasi, dan sumber ilmu dirawat dengan sikap rendah hati. Melalui sistem among, yang mencakup nilai asah, asih, dan asuh, PM menciptakan harmoni yang mendukung peserta didik untuk berkembang secara alami tanpa tekanan yang mengekang.
Dengan mengintegrasikan semua dimensi ini, PM menciptakan pengalaman pendidikan yang menyeluruh dan relevan dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Filosofi ini tidak hanya membentuk peserta didik yang cerdas, tetapi juga bermartabat, mandiri, dan berempati, siap menghadapi tantangan global dengan percaya diri dan kesadaran penuh.(Source)
Komentar