Pendidikan Nilai dalam Ilmu Sejarah, Suatu Pembahasan Filsafat Pendidikan

Oleh: Muhammad Seleh Madjid
ABSTRAK
Pendidikan nilai harus menyentuh pembentukan watak, moralitas dan sikap. Oleh karena nilai berkaitan erat dengan kebaikan, maka dalam penghayatan nilai itu melibatkan hati nurani dan budi. Hati menangkap nilai dengan merasakannya, sedangkan busi menangkap nilai dengan memahami dan menyadarinya. Pendidikan nilai harus melibatkan tiga komponen; keluarga, masyarakat, dan sekolah dengan penekanan pada memberi contoh dan ketauladanan baik dalam ucapan maupun perbuatan. Pengajaran pendidikan nilai dilakukan dengan internalisasi nilai yang diawali dengan tahapan penerimaan nilai, penangkapan atas nilai, penilaian atas nilai, penghargaan atas nilai, pengorganisasisan nilai dan pemelukkan nilai. Pengajaran nilai dalam sejarah diawali dengan pemahaman terhadap fakta, kemudian pemahaman konsep dan diakhiri dengan pemahaman penerimaan nilai.
Kata Kunci : Pendididikan Nilai, Ilmu Sejarah, dan Filsafat Pendidikan.

PENDAHULUAN

Dewasa ini dunia pendidikan semakin terpuruk karena dianggap telah gagal mendidik kaum muda Indonesia sebagai generasi penerus perjuangan bangsa. Kegagalan itu karena generasi tua tidak mampu memberikan ketauladanan kepada generasi muda, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat serta lingkungan sekolah.

Porsi terbesar dari kegagalan itu diakibatkan oleh pendidikan ilmu-ilmu sosial/humaniora terutama sejarah hanya mengajarkan informasi-informasi hafalan dan tidak menyentuh pembentukan watak, moralitas, sikap atau proses berpikir peserta didik yang mengarah kepada kecakapan hidup (life skill), yaitu kecakapan mengenai diri (self awarness) yang juga sering disebut kemampuan personal (personal skill), kecakapan berpikir rasional (think skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (Academic skill), dan kecakapan vokasional (vocational skill) (Saman, 2004: 12). Lepas dari berbagai faktor penyebab kegagalan, penddikan memegang peran penting dalam pembentukan sikap (nilai) pada generasi muda.

Tulisan ini membahas mengenai pendidikan nilai, nilai-nilai luhur dalam ilmu sejarah, mengapa pendidikan nilai gagal, serta langkah-langkah pendidikan nilai dan diakhiri dengan sasaran etika pendidikan nilai dan evaluasi pendidikan nilai. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai dan moral pada peserta didik (generasi muda) melalui ilmu humaniora (sejarah) diharapkan tidak hanya menyajikan fakta atau informasi verbal, tetapi dapat menyampaikan konsep-konsep dan nilai yang didukung oleh fakta sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan peserta didik.

PENDIDIKAN NILAI
Memahami manusia memang bukan suatu pekerjaan mudah. Perbincangan tentang manusia itu sendiri juga dinamis, berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan peradaban yang tak pernah usai. Sampai-sampai Gabriel Marcel menyatakan bahwa manusia bukan problema yang akan habis dipecahkan, ia adalah misteri yang tak mungkin disebutkan sifat dan cirinya secara tuntas (Atmadi, 2000: 22).

Seluruh ilmu yang berbincang tentang manusia setiap saat berpikir dan mencoba memahami tentang manusia, karenanya pengertian tentang manusia menjadi semakin luas dan sulit menemukan yang terdalam dari manusia. Namun, justeru karena pemahaman tentang manusia yang terus berkembang, maka klaim pendidikan itu sendiri harus dinamis. Ia bukan merupakan rumusan kaku yang tak menerima perubahan. Bukankah tak ada yang abadi di dunia ini, selain perubahan itu sendiri.

Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, menusia lahir dengan potensi kodratnya berupa cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan tentang nilai kebenaraan. Rasa adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan tentang nilai keindahan. Sedangkan karsa adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai kebaikan. Dengan ketiga potensinya manusia selalu terdorong untuk ingin tahu mengenai nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang terkandung di dalam segala sesuatu yang ada. Pegetahuan tentang nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan tersebut, selanjutnya dijadikan landasan dasar untuk mendirikan filsafat hidup, menentukan pedoman hidup, dan mengatur sikap dan perilaku hidup agar senantiasa terarah kepada pencapaian tujuan hidup (Suhartono, 2004: 29-30)

Untuk memperjelas tentang pengertian nilai, Bertens (1993: 139) merumuskan: nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai, dan diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik.

Sinurat (1987: 1) mengatakan : nilai dan perasaan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengandaikan. Perasaan adalah aktifitas psikis di mana manusia menghayati nilai. Dalam hal ini dijelaskan bahwa sesuatu itu bernilai bagi seseorang jika menimbulkan perasaan positif, senang, suka, simpati, gembira, tertarik, dan sesuatu yang tidak bernilai akan menimbulkan perasaan negatif, tidak senang, tidak suka, marah, jijik, benci, antipati. Sejalan dengan ini, Hans Jonas, filsuf Jerman mengatakan bahwa nilai itu adalah the addreses of a yes artinya sesuatu yang selalu kita inginkan atau setuju (Bertens, 1993: 139). Maka pengamalan dan pengalaman/penghayatan nilai itu melibatkan hati atau hati nurani dan budi. Hati menangkap nilai dengan merasakannya dan budi menangkap nilai dengan memahami/menyadarinya.

NILAI-NILAI LUHUR DALAM ILMU SEJARAH
Tidak terlalu mudah untuk membuat batasan apa itu nilai. Oleh sebab itu, dalam merumuskan batasan nilai, dirumuskan bahwa nilai merupakan hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan oleh manusia (Driyarkara, 1966: 38). Lebih lanjut Driyarkara menjelaskan bahwa nilai itu erat berkaitaan dengan kebaikan, kendati keduanya memang tidak sama, mengingat bahwa sesuatu yang baik tidak selalu bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya. Sebagai contoh : cincin berlian itu baik, tetapi tidak bernilai bagi seseorang yang mau tenggelam bersama kapalnya. Kebaikan itu lebih melekat pada halnya, sementara nilai lebih menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal yang baik.

Sementara itu, apa yang disebut nilai sebenarnya amat beragam dilhat dari sudut sifat dan manfaatnya. Menyangkut persoalan nilai, maka dalam ilmu sejarah ada beberapa nilai baik dan tinggi untuk ditanamkan atau dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai pada peserta didik atau generasi penerus. Nilai-nilai tersebut antara lain:
1. Rasa nasionalisme (semangat kebangsaan).
2. Jiwa patriotisme.
3. Rasa cinta tanah air.
4. Kerelaan berkorban (berjuang tanpa pamrih).

Dari pembahasaan mengenai pendidikan nilai dan nilai-nilai luhur dalam ilmu sejarah dapat ditegaskan bahwa aspek ontologisnya adalah :
1. Mendirikan filsafat hidup yang terbentuk oleh pengetahuan tentang nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai kebaikan.
2. Mengembangkan kecerdasan spiritual karena pada diri manusia memiliki potensi kodrat berupa cipta, rasa, dan karsa.

MENGAPA PENDIDIKAN NILAI GAGAL? DAN LANGKAH-LANGKAH PENGAJARAN NILAI (EPISTEMOLOGIS)

1. Mengapa Pendidikan Nilai Gagal ?
Penyebab di balik kegagalan pendidikan nilai harus dilihat pada 3 aspek, yaitu: keluarga, masyarakat, dan sekolah. Pada lingkup keluarga di mana anak-anak mengalami pendidikan yang pertama dari orang tua mereka, seharusnya mampu memberi contoh dan tauladan kepada anak-anaknya, baik dalam ucapan (perkataan) maupun perbuatan. Sekarang, hal semacam itu sudah mulai terkikis, bahkan hampir-hampir kurang diperhatikan. Sebagai contoh, orang tua mengharapkan anaknya taat mendirikan shalat, sementara ibu dan bapaknya tidak melaksanakan shalat. Kondisi ini ditambah lagi oleh lingkungan masyarakat yang semakin tidak mendukung terciptanya pendidikan nilai.

Dari kedua hal (keluarga dan masyarakat) ditambah lagi dengan sistem pendidikan sekolah yang klasikal dan semakin bercorak massal dan formal, sehingga pendidikan di sekolah menjadi dangkal. Pelajaran-pelajaran menjadi sekedar acara formal. Proses dan isinya tidak dipandang terlalu penting. Nilai ujian bisa diatur. Kesemuanya menyebabkan hilagnya semangat belajar dan hilangnya kreativitas siswa. Ini menunjukkan pendidikan semakin dangkal.

Pendangkalan pendidikan terjadi pada beberapa level antara lain pada tujuan, proses, dan isi (materi), hasil dan level sektor. Pada level tujuan, terjadi disoriantasi pendidikan. Pendidikan yang mestinya diarahkan untuk mencapai tujuan kesempurnaan hidup, justeru diarahkan pada tujuan yang makin menyempit, yaitu pada pemerolehan kehidupan berkecukupan (materi).

Pada level proses terjadi superfisialisasi proses pendidikan. Di permukaan tampak setiap hasil pendidikan itu dijalankan dengan serius, tetapi proses yang terjadi di dalamnya amat minim. Coba saja kita lihat pagi-pagi jalanan dipenuhi orang yang mau ke sekolah. Guru tampak tak henti-hentinya berbicara, menerangkan sesuai dengan tugas, tetapi seberapa banyak pengetahuan yang dapat diserap oleh siswa selama jam pelajaran berlangsung. Para orang tua kecewa dan mengeluh tentang perilaku anak-anak yang dari rumah baik-baik, tetapi karena pengaruh teman-temanya di sekolah, ia justeru menjadi amburadul. Ini semua disebabkan proses pendidikan bersifat superfisial.

Pada level isi (materi) terjadi suatu over load yang berlebihan bagi siswa dan guru oleh banyaknya mata pelajaran dalam setiap minggu. Tentu saja terasa berat bagi siswa untuk dapat mencernanya lembut-lembut dan menghisap sari-sarinya. Di kelas, siswa merasa dipaksa untuk menelan mentah-mentah materi yang sudah diprogramkan, ini membuat siswa bosan dan akhirnya membenci pelajaran yang diberikan oleh guru.

Pada level hasil yang secara implisit kualitas dan kuantitas materi yang dapat diserap oleh murid makin lama makin menurun, baik pada aspek kognitif, labih-lebih pada aspek afektif dan psikomotorik. Pada level sektoral tampak sekali adanya penekanan yang semakin memusat pada sektor pendidikan formal dan lebih beroriantasi ekonomi (materi).

Jadi tampak sekali bahwa situasi pendidikan kita dalam kurun waktu + 35 tahun terakhir ini kurang menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai luhur (aspek spiritual) yang menjadi motor penggerak perkembangan siswa ke arah hidup yang manusiawi.

2. Langkah-langkah Mengajarkan Nilai dan Proses Internalisasi Nilai dalam Ilmu Sejarah
Mengajar harus diartikan secara luas, yakni suatu proses menyediakan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan bagi subyek belajar (siswa) untuk memperoleh pengetahuan, memiliki sikap dan keterampilan yang membawa perubahan tingkah laku maupun pembelajaran pribadinya (Joni, 1977: 7). Itulah sebabnya proses pembelajaran di sekolah sudah seharusnya mengandung unsur transfer of knowledge dan transfer of values.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka pembelajaran sejarah dapat dikatakan sebagai suatu proses kegiatan untuk mendorong dan merangsang subyek belajar untuk mendapatkan pengetahuan sejarah dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan dan kesejarahan, sehingga membawa perubahan tingkah laku dan menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai dalam ilmu sejarah. Kesadaran adalah suatu orientasi intelektual, suatu sikap jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, sebagai makhluk sosial, termasuk sadar sebagai bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman, 1994: 2).

Pengajaran nilai dalam ilmu sejarah melalui proses pemberian nilai (internalisasi nilai) dengan melalui tahapan yaitu penerimaan nilai, penanggapan atas nilai, penilaian atas nilai, penghargaan atas nilai, pengorganisasian nilai-nilai dan pemelukan nilai (karakterisasi nilai). Namun harus diingat mengajarkan nilai hanya akan berhasil jika di pihak peserta didik (siswa) ada disposisi batin yang benar, yang anatara lain adalah sikap terbuka dan percaya, jujur, rendah hati, bertanggungjawab, berniat baik, setia, dan taat melaksanakan nilai-nilai disertai budi yang ceriah. Nilai-nilai itu tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan masuk ke hati kita secara lembut ketika hati secara bebas membuka diri (Atmadi, 2000: 38).

a. Langkah-langkah Mengajarkan Nilai
Mengenai langkah-langkah mengajarkan nilai oleh Notonagoro menekankan 3 (tiga) tahapan penting dalam proses memahami nilai yaitu taraf fakta, taraf konsep, dan taraf nilai , (Hasmin dkk, 1976). Pengajaran nilai pertama-tama harus bertitik tolak dari fakta, di mana dalam proses belajar mengajar sejarah disampaikan informasi, data, peristiwa, dan fakta, yang dengan mudah ditangkap dengan panca indera peserta didik.

Selanjutnya tarap konsep, di sini pengajar mengajak peserta didik mencari dan memahami prinsip-prinsip tertentu di balik fakta. Di sini terjadi proses abstraksi fakta, orang mulai melaksanakan generalisasi, membuat analisis, membuat tafsiran. Keterampilan intelektual menjadi kegiatan utama untuk menggantikan aktifitas indrawi. Sedangkan pada tahap nilai, pengajar (pendidik) harus mendampingi peserta didik untuk meemukan makna/nilai di balik fakta dan konsep bagi kepentingan hidupnya.

Contoh pengajaran sampai tingkat nilai.
a. (1) Taraf fakta: para sukarelawan bertempur melawan musuh yang mengan-
cam tanpa peduli akan kelangsungan jiwanya. Mereka meninggalkan kampung halaman, sanak saudara untuk membela tanah air yang diancam musuh.
(2) Taraf konsep: patriotisme
(3) Taraf nilai : kesetiaan pada taanah air.
b. (1) Taraf fakta: Bangsa yang satu dan bangsa yang lain saling menyerang,
saling membunuh dengan berbagai persenjataan yang dimilikinya karena merasa dirinya paling besar dan menang.
(2) Taraf konsep: perang (konflik)
(3) Taraf nilai : kedamaian ditolak.

b. Proses Internalisasi Nilai
Bila seseorang telah memiliki dan menjadikan suatu nilai sebagai bagian dari keperibadiannya dan bagian dari kata hatinya, maka ia telah merasakan kesesuaian antara perasaan, cita-cita kebutuhan, dan cara memandangnya dengan nilai yang dihayati dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, kultural, politik, ekonomi, dan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya bila seseorang telah menjadikan nilai pentingnya mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok, golongan, hal itu berarti bahwa melalui pengabdiannya orang akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan dalam batinnya karena mengabdi kepada bangsa dan negara adalah cita-cita dan kebutuhannya dasarnya. Bila tingkat yang ingin dicapai melalui pendidikan terutama ilmu sejarah yang menitik beratkan pada nilai-nilai perjuangan 1945, maka diperlukan suatu proses yang intensif dan terus menerus dalam pembelajaran di sekolah, yang didukung oleh lingkungan keluarga dan kehidupan dalam masyarakat ke arah dengan cara memberi keteladanan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan mendorong penghayatan secara utuh dari pihak siswa terhadap penerapan nilai-nilai tersebut.

Perlu dipahami bahwa ilmu sejarah mengandung gambaran tentang masa lampau. Masa lampau yang tergambar dalam sejarah oleh guru dan penulis dapat diwujudkan dalam suatu lukisan peristiwa yang utuh dengan tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya, berikut lingkungan budaya, politik, dan ekonomi yang melatarbelakanginnya. Walaupun demikian, betapa pun hebatnya seorang guru melakukan peranannya tidak akan dengan sendirinya suatu nilai yang digali dan dipetik dari suatu peristiwa sejarah dapat langsung tertanam dalam diri anak didik

Untuk sampai kepada tingkat nilai yang diharapkan perlu tahapan-tahapan dalam upaya penanaman nilai. Oleh David R. Kratwohl dalam (Soedijarto, 1993: 145-146) mengemukakan tahapan-tahapan :
1. Tahap mulai terbuka menerima rangsangan yang meliputi tingkatan : (a) pengadaan, (b) hasrat untuk menerima pengaruh, dan (c) memberi perhatian serta memilih diantara pengaruh yang masuk.
2. Tahap mulai memberi tanggapan terhadap rangsangan efektif yang meliputi tingkatan : (a) mulai memberikan pada nilai yang dirangsangkan, (b) berhasrat secara efektif memberikan perhatian, (c) menikmati dengan penuh kebahagiaan memberikan perhatian terhadap nilai efektif.
3. Tahap mulai memberikan penilaian terhadap rangsangan, yang meliputi tingkatan : (a) mulai menerima nilai yang sudah menarik perhatiannya; pada tingkatan ini peserta didik mulai menyatakan penilaiannya berdasarkan nilai yang diterima, (b) memilih berdasarkan nilai; pada tingkatan ini peserta didik sudah mulai menggunakan nilainya sebagai acuan dalam memilih suatu objek, dan (c) percaya akan kebenaran suatu nilai. Pada tingkat ini peserta didik sudah mulai dengan penuh keyakinan menerima kebenaran suatu nilai.
4. Pengorganisasian berbagai nilai yang telah diterima yang meliputi tingkatan : (a) menentapkan kedudukan atau hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya, dan (b) menempatkan prioritas diantara nilai-nilai yang telah diterima, misalnya menetapkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan golongan.
5. Penyaturagaan nilai-nilai dalam suatu sistem nilai yang konsisten, yang meliputi : (a) generalisasi sebagai landasan acuan dalam melihat dan memandang masalah-masalah yang dihadapi, (b) mengembangkan satu filsafat hidup yang utuh dan konsisten. Pada saat ini semua nilai yang ditanamkan dalam diri peserta didik telah menjadi bagian terpadu dari sistem kepribadian peserta didik.

Jadi aspek epistemologi diharapkan :
1. Mendirikan sikap ilmiah, Karena pada aspek ini, ada usaha memahami nilai dan nilai luhur yang dikandung dalam ilmu sejarah terutama melalui proses pembelajaran sejarah.
2. Mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, di mana nilai-nilai yang telah dipahami diharapakan mendapat rangsangan, tanggapan, penilaian serta diiternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

TUJUAN DAN SASARAN ETIKA PENDIDIKAN NILAI (AKSIOLOGIS)
a. Tujuan Pendidikan Nilai
Kita mengetahui bahwa dalam kehidupan kemasyarakata, terdapat berbagai gugusan nilai, seperti nilai keagamaan, nilai yang berhubungan dengan kesenian, nilai yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, nilai yang berhubungan dengan kehidupan sosial, nilai yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi, dan nilai-nilai lainnya (Soedijarto, 1993: 133). Pendidikan nilai dalam ilmu sejarah terutama pendidikan sejarah perjuangan bangsa tidak mungkin mencakup semua nilai yang terdapat dalam kehidupan kemasyarakatan melainkan mengutamakan pendidikan nilai yang berhubungan dengan perjuangan bangsa yang mencerminkan keseluruhan sikap bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan dalam perjalalan sejarahnya dan dalam menghadapi masa depan.

Oleh karena itu, tujuan utama pendidikan nilai dalam rangka pendidikan sejarah perjuangan bangsa adalah agar dapat dihayati dan diamalkannya segala nilai yang telah dicontohkan oleh para pejuang, pembela dan pengisi kemerdekaan oleh generasi sebagai bagian terpadu dari penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

b. Sasaran Etika Pendidikan Nilai (Aspek Etikanya)
Aspek etika pendidikan sasarannya adalah menumbuh-kembangkan nilai kebaikan dalam perilaku, sehingga bisa menjadi cerdas dan matang. Karena aspek etika merupakan bagian integral dari aspek epistemologis dan ontologis, maka pencerdasan emosional dilakukan menurut pencerdasan intelegensi dan berdasar kepada pencerdasan spiritual. Ketiga proses pencerdasan ini saling berhubungan secara kausalitas, dengan meletakkan pencerdasan spiritual sebagai basis dari kedua pencerdasan lainnya (Suhartono, 2004: 101).

Selanjutnya Suparlan Suhartono memberi gambaran bahwa kecerdasan emosional adalah sebuah perilaku yang dibangun menurut landasa ontologis dan epistemologis pendidikan. Seperti diketahui, ontologi pendidikan menekankan masalah “pemanusiaan manusia”. Masalah ini berlatar belakang pada kesadaran mendalam tentang asal manusia, eksistensi dan tujuan hidup manusia. Kesadaran atas asal mula, menumbuhkan potensi moral spiritual syukur, kesadaran atas eksistensi kehidupan menumbuhkan potensi moral spiritual “sabar” dan kesadaran atas tujuan kehidupan menumbuhkan moral-spiritual “ihklas”.

Bertolak dari kutipan di atas, maka etika pendidikan nilai dalam ilmu sejarah tidak lain adalah menumbuh-kembangkan nilai-nilai sebagaimana yang dikemukakan pada aspek ontologis dan epistemologis. Karena aspek etika merupakan bagian integral dari aspek ontologis dan epistemologis.
Nilai-nilai yang ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan nilai akan menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya yang pada akhirnya akan menentukan sikap, dan sikap akan membentuk tingkah laku seseorang. Untuk mengetahu nilai-nilai yang diyakini seseorang dan menjadi sikap hidupnya dapat dilihat melalui indikator yang dapat memeberi petunjuk adanya nilai yang dimiliki. Oleh J.R. Fraenkel (1973), menyebutkan delapan indikator petunjuk adanya nilai, yaitu :
1. Tujuan yang dikerjakan.
2. Aspirasinya.Sikapnya.
3. Minatnya (interes)
4. perasaan (feeling)
5. Kepercayaan (belief)
6. Perbuatannya
7. Kekuatirannya (warries)

Jadi, aspek etika yang diharapkan adalah :
1. Meningkatkan kecerdasan intelektual dalam arti meningkatkan pemahaman terhadap nilai dalam ilmu sejarah (semangat nasionalisme, jiwa petriotisme, dan kerelaan berkorban, serta rasa cinta tanah air).
2. Mengembangkan kecerdasan emosional, melalui pemahaman nilai (poin satu) diharapkan tumbuhnya emosi (sentuhan perasaan jiwa dan batin), sehingga terbentuk sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai yang ditanamkan.
3. Kesemuanya (poin 1 dan 2) akan membentuk kecerdasan spiritual bagi peserta didik.

PENUTUP
Di masa-masa yag akan datang kita memang harus lebih menghidupkan lagi pendidikan nilai di negeri Indonesia ini termasuk nilai-nilai dalam ilmu sejarah. Pada beberapa dasawarsa ini, pendidikan nilai seakan mati merana atau sekarat, kekurang gizi. Untuk itu kita tidak uasah menunggu instruksi dari atas. Kita harus berani dan mengambil inisiatif, betapa pun mungkin awalnya tidak mudah.

Dewasa ini, masyarakaat dan para orang tua sudah terlanjur menyerahkan pendidikan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah, maka sekolah memang harus bertindak. Tetapi pihak orang tua (keluarga) dan masyarakaat juga harus disadarkan bahwa kedua pihak ini tidak boleh lepas tangan atau cuci tangan terhadap pendidikan anak-anaknya. Mereka harus mau menjadi partner kerja para guru (pendidik) di sekolah. Mereka harus mau kehilangan tenaga dan waktunya untuk memperhatikan anak-anaknya. Di samping itu mereka (orang tua dan masyarakat) harus komunikatif dalam usaha memberi informasi tentang perilaku dan perkembangan anak-anaknya.

Kita harus banyak berinisiatif untuk memperhatikan pendidikan nilai bagi anak-anak kita. Jika kita peduli pada anak-anak, mereka pun akan sadar dan memiliki niat untuk mengikuti apa yang kita tunjukkan kepadanya, walaupun mereka (anak-anak) harus mengalami jatuh bangun terlebih dahulu untuk akhirnya sampai ke tujuan.

Saat ini hati anak-anak Indonesia banyak yang buta, tuli, lumpuh, dan sakit terhadap nilai dan moraal, sehingga mereka buta terhadap kebenaran dan kebaikan, dan mudah sekali membabi buta, melakukan tindakan kekerasaan, menjadi pecandu narkoba dan seks bebas, dan lain-lain. Mereka menjadi begitu, karena mereka mendapat contoh dan belajar dari para orang dewasa (keluarga dan masyarakat). 

Keadaan ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terus, maka orang tua (keluarga dan masyarakat) serta para pendidik (guru) masing-masing harus memainkan peran dan tanggung jawab sesuai porsinya. Dengan demikian, anak-anak tetap berada dalam jangkauan kita, mereka harus diberikan pendidikan nilai yang pada akhirnya akan terbentuk anak-anak Indonesia yang memiliki kecerdasan intelektual, memiliki kecerdasan emosional, dan memiliki kecerdasan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA
Atmaad, A dan Setiyaningsih, Y. 2000, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Bertens, K., 1976, Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Driyarkara, N. 1980, Driyarkara tentang Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Notosusanto, Nugroho, 1964, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah. Bandung: Bookstore
Raka Joni, T. 1980, Teori Mengajar dan Psikologi Belajar, Majalah Dep. P dan K No. 3 Thn. II
Sinurat, R.H.Dj, 1978. Klarifikasi Nilai. Yogyakarta: FIPiIKP Sanatara Dharma
Sardiman, A.M., 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta Rajawali
______________, 2004. Edukasi. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Pendidikan, FIP Universitas Negeri Makassar
Suhartono, Suparlan, 2004. Pendidikan, Sebuah Pemikiran Kefilsafatan ke Arah Pencerdasan Spiritual, Intelektual, dan Emosional. Universitas Negeri Makaassar
Soedijarto, 1993, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka


*Muhammad Seleh Madjid, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar.

Komentar